iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (FIN)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum juga menerima salinan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan judicial review terkait Perpres 75 tahun 2019. Keputusan MA itu ditetapkan Ketua Majelis Hakim Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.

Pengamat Kebijakan Publik Yusdiyanto Alam mengatakan, publik menyambut suka cita atas keputusan MA ini. Dan BPJS Kesehatan khususnya pemerintah harus menjalan keputusan absolute ini. Dampak positifnya dengan keputusan MA setidaknya dapat mengakhiri perdebatan yang kerap muncul dari sisi pelayanan hingga nilai rupiah yang tidak relevan.

”Sudah cukup ya, tidak ada perdebatan lagi soal iuaran BPJS. Pemerintah harus hargai ini. So, keputusan MA ini secara otomatis disambut suka cita oleh warga kelas dua. Warga kelas dua yang saya maksud berada di klaster menengah. Kaya tidak, disebut miskin juga ga mau,” papar Yusdiyanto kepada Fajar Indonesia Network, Senin (9/3).

Putusan MA ini, sambung doktor jebolan Universitas Padjajaran, Bandung ini, merepresentasikan keberpihakan MA terhadap rakyat. ”Ini sudah tepat. Tanda kegembiraan bahwa peradilan kita masih ada sisi lainnya. Berpihak pada kemaslahatan umat. Sekali lagi, segera jalankan putusan, tidak ada lagi alasan!” timpalnya.

Menanggapi hal ini, Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf mengaku belum menerima salinan putusan dari MA. ”Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut,” terang Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf dalam keterangan persnya, Senin (9/3).

Iqbal menambahkan, saat ini BPJS Kesehatan belum bisa mengkonfirmasi kebenaran isi putusan MA (Selengkapnya lihat grafis) tersebut dan mempelajari hasilnya jika sudah diberikan. Apabila hasil konfirmasi sudah didapatkan dan teruji kebenarannya BPJS Kesehatan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai dengan ketentuan yang berlak. ”Pada prinsipnya BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari Pemerintah,” imbuh Iqbal.

MA mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020. Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 disebutkan bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya, seperti UUD 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Pasal tersebut menjelaskan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen. Putusan dibacakan 27 Februari 2020 lalu, di mana dikatakan bahwa pasal ini tidak mempunyai hukum mengikat. Sebelumnya, iuran BPJS ini digadang-gadang menjadi dua kali lipat.

Terkait keputusan MA ini, pemerintah akan melihat dampak pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. “Ini kan keputusan yang memang harus lihat lagi implikasinya kepada BPJS,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani usai rapat di Istana Presiden, Senin (9/3). Pemerintah akan melihat apakah BPJS Kesehatan akan terpengaruh secara keuangan. Bila terpengaruh, akan dilihat bagaimana keberlanjutan BPJS Kesehatan ke depan.

Sri bilang BPJS Kesehatan mengoptimalkan layanan jaminan kesehatan untuk masyarakat. Meski begitu, lembaga tersebut saat ini masih merugi. ”Kondisi keuangan BPJS meskipun saya sudah tambahkan Rp15 triliun dia masih negatif, hampir sekitar Rp13 triliun,” terang Sri. Oleh karena itu pemerintah menerima hasil putusan MA. Namun, perlu mengulas dampaknya terhadap BPJS Kesehatan ke depan.


Berita Terkait



add images