iklan Amri Ikhsan.
Amri Ikhsan. (Ist)

Oleh: Amri Ikhsan

Tidak seperti biasanya ‘istilah mudik dan pulang kampung’ meriah dibicarakan sebelum bulan Ramadhan, biasanya, istilah ini ‘hangat’ diiberitakan 10 (sepuluh) menjelang lebaran.

Memang, menjelang datangnya bulan Ramadhan 1441 H, kita agak disibukkan dengan polemik istilah mudik dan pulang kampung. Ini berawal dari wawancara presenter Najwa Shihab dengan Presiden Joko Widodo.

Najwa menanyakan perihal kontroversi mudik. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, hampir 1 juta orang telah mencuri start mudik.

Presiden Jokowi menjawab, "Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini, tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang karena anak istrinya ada di kampung.

Kalau mudik itu di hari lebarannya. Beda. Untuk merayakan Idulfitri. Kalau yang pulang kampung itu bekerja di Jakarta, tetapi anak istrinya ada di kampung." (Kompas)

Sebenarnya istilah ini sangat jarang diperdebatkan. Hampir setiap tahun masyarakat mudik dan pulang kampung. Tapi karena dua istilah ini disampaikan oleh ‘orang nomor 1’ di republik ini, maka perdebatannya menjadi ‘ramai’, apalagi ditengah permasalahan sulit yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, pandemi covid-19.

Dari pernyataan Presiden Jokowi, bisa diambil 2 (dua) premis: pertama, kalau seseorang bekerja di Jabodetadek, dia cuma kerja, tidak punya ‘rumah tetap”, anak isteri berada dikampung, maka dia pulang kampung, bukan mudik, kapanpun dia melakukan itu;

Kedua, apabila dia bekerja di Jabodetabek, sudah punya rumah tinggal bersama anak isteri, maka itu namanya mudik, apalagi dilakukan menjelang lebaran. Tapi, bila dilakukan bukan menjelang lebaran, itu namanya pulang kampung bukan musik.

Diyakini, penyimpulan ini berdasarkan konteks perantau itu sendiri. Kalau yang namanya pulang kampung itu yang bekerja di Jakarta, tetapi anak istrinya ada di kampung, menganggap wajar bahwa banyak orang yang kembali ke kampung halaman di masa pandemi Covid-19 karena kehilangan pekerjaan di tanah rantau.

Sedang BNPB (Badan Nasional Penangulangan Bencana) menjelaskan perbedaan Mudik dan Pulang kampung. Mudik adalah pulang kampung yang sifatnya sementara dan akan kembali lagi ke kota. Sedangkan pulang kampung adalah pulang ke kampung halaman dan tidak akan kembali lagi ke kota.

Ada beberapa golongan masyarakat yang dilarang mudik di antaranya Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI-POLRI, BUMN, BUMD, dan masyarakat berpenghasilan tetap. Golongan ini dilarang mudik, keluar rumah, berkumpul, serta harus taat pada peraturan PSBB dan peraturan penanganan COVID-19.

Sedang, kelompok yang dapat pulang kampung adalah kelompok PMI dan PHK dengan catatan mengikuti protokol pulang kampung secara ketat. Protokol pulang kampung diawali dengan mengisi formulir keterangan diri dan dan tujuan kepulangan. (liputan6)

Memang ‘mudik’ itu agak susah dilarang dan itulah keunikan Indonesia menjelang lebaran. Bagi masyarakat ini merupakan momen paling yang ditunggu-tunggu. Bagi mayoritas umat muslim, merayakan Idulfitri bersama keluarga bahkan bisa dibilang merupakan sebuah keharusan.

Ditemukan, ada beberapa alasan yang menjadi tujuan para pemudik pulang kampung. Pertama, dorongan keagamaan yang telah menjadi budaya. Begitu kuat tarikan keagamaan yang telah menjadi budaya, karena Islam mengajarkan bahwa mereka yang sudah berpuasa akan diampuni dosa-dosanya. Akan tetapi, yang diampuni hanya dosa di hadapan Allah, sedang dosa kepada orang tua, saudara kandung, tetangga dan sekampung, tidak akan diampuni kecuali saling bermaaf-maafan dengan jabat tangan melalui silaturahim antara satu dengan yang lain (Komarudin Hidayat).

Kedua, update status, bagi generasi melinia, mudik adalah momen untuk ‘menggunakan ’smartphone’ canggih yang dimiliki. Sudah bosan update status tentang pekerjaan atau situasi dikota. Waktunya ‘back to nature’, memotret setiap langkah dari menit ke menit, mencari sudut pandang yang ‘agak kampungan’, mulai dari tempat, makanan, kegiatan dan orang kampung. Semuanya di-upload dengan berbagai gaya ke berbagai macam media sosial.

Ketiga, rindu kampung dan masakan kampung (masakan Mak). Rutinitas pekerjaan dan suasana kota membuat pulang kampung adalah ‘obat rindu’ dan kesempatan untuk menikmati suasana kampung sekaligus menikmati masakan kampung (masakan ‘mak’). Tidak ada masakan yang paling nikmat kecuali masakan ‘mak’ walau masakan itu masakan dibuat secara tradisonal.

Keempat, mencari tempat ‘curhat untuk bernostagia. Masa kecil di kampung halaman adalah masa-masa yang paling indah dan menyenangkan dan pulang kampung adalah media untuk ‘me-rewind’ momen bahagia itu. Disamping itu, pulang kampung bagi sebagian pemudik tempat bercerita, curhat suka duka selama berada dikampung orang.

Kelima, kembali ke keluarga. Berkumpul dengan keluarga adalah puncak dari mudik. Keluarga adalah tempat memupuk nilai-nilai ketentraman, kasih sayang, dan cinta kasih yang fitri. Mudik menjadi momentum untuk berbakti pada kedua orang tua, setelah sepanjang tahun sibuk dengan urusan dunia.

Dilain pihak, banyak kegiatan manusia yang sering digantikan dengan smartphone. Tapi tidak dengan mudik lebaran. Kendati seiring kemajuan teknologi untuk menyambung silaturahmi di lebaran, baik lewat messenger, video call maupun media sosial lainnya. Namun ini belum bermakna jika tidak bertemu langsung bentuk fisik anggota keluarga.

Ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik: 1) mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga; 2) terapi psikologis; 3) lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari; 3) mengingat asal usul; 4) unjuk diri, bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar (Arie Sudjito)

Selamat Menjalan ibadah puasa Ramadhan 1441 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin!

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah


Berita Terkait



add images