iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Faisal R Syam / FAJAR INDONESIA NETWORK.)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Pemerintah menyatakan salat Idul Fitri di masjid atau di lapangan secara berjamaah, yang dapat menimbulkan kerumunan massa dilarang. Larangan ini demi mencegah penularan virus Corona (COVID-19).

“Kegiatan keagamaan yang masif, yang menimbulkan, dan menghadirkan kumulan orang banyak dilarang. Termasuk yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan,” tegas Menkopolhukam Mahfud MD usai rapat terbatas mengenai Persiapan Idul Fitri 1441 H/ 2020 M di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (19/5).

Menurutnya, larangan tersebut untuk menghindari bahaya dari bencana pandemi COVID-19, yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai bencana non-alam nasional. Pemerintah mengajak para tokoh agama, organisasi masyarakat keagamaan, dan juga tokoh masyarakat, tokoh adat untuk meyakinkan masyarakat salat berjamaah yang mengundang kerumunan termasuk kegiatan yang dilarang oleh perundang-undangan.

Hal itu, lanjutnya, sesuai dengan mandat dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan juga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berksala Besar dalam Penanganan COVID-19.

“Kegiatan keagamaan yang sifatnya masif seperti salat berjamaah di masjid, atau salat Id di lapangan termasuk kegiatan yang dilarang oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2020 yaitu tentang PSBB. Juga dilarang oleh berbagai peraturan undang-undang yang lain. Misalnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang karantina kewilayahan yang dalam rangka memutus mata rantai penyebaran COVID-19,” imbuhnya.

Pemerintah, lanjut Mahfud, meminta masyarakat agar mematuhi ketentuan perundang-undangan tersebut. “Itu termasuk bagian yang dilarang oleh perundang-undangan. Bukan karena salatnya, tetapi karena itu merupakan bagian menghindari penyebaran COVID-19,” papar Mahfud.

Sementara itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk tidak melakukan pelonggaran PSBB. “Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan PSBB di wilayahnya masing-masing untuk tidak melakukan pelonggaran PSBB terlebih dahulu. Sebelum kasus penyebaran COVID-19 mengalami penurunan drastis dan daerah zona merah berkurang,” ujar Bamsoet di Jakarta, Selasa (19/5).

Sejumlah daerah dinilai masih bekerja keras dalam menerapkan PSBB. Seperti di Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Papua. Wilayah tersebut mengalami penambahan jumlah warga yang positif terjangkit COVID-19. Dia meminta pemerintah pusat dan daerah melakukan evaluasi terhadap perkembangan penyebaran COVID-19 dan kemungkinan penerapan PSBB di masing-masing daerahnya. “Serta mengajukan permohonan pemberlakuan PSBB kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan jika diperlukan,” paparnya.

Politisi Partai Golkar itu meminta seluruh kepala daerah untuk memperkuat gugus tugas yang berada di tingkat RT/RW untuk mengendalikan penyebaran COVID-19 di masing-masing daerah. Khususnya di daerah yang masih memiliki zona merah COVID-19. “Unit masyarakat paling bawah menjadi yang paling efektif mengendalikan virus tersebut,” ucapnya.

Dia meminta pemda khususnya daerah yang memiliki peningkatan angka kasus penyebaran COVID-19, seperti di Jawa Timur 70 persen, Sumatera Selatan 157 persen, Kalimantan Selatan 70 persen untuk melakukan upaya maksimal dalam menekan angka COVID-19. “Lakukan imbauan dengan tegas kepada warganya untuk tetap waspada, lebih disiplin dan benar-benar menaati aturan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,” tuturnya.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat. Dia meminta skenario pelonggaran kebijakan PSBB harus melalui pertimbangan sesudah terlewatinya puncak penyebaran pandemi COVID-19. “Saya melihat di sejumlah pemberitaan banyak pihak sudah merencanakan tata kehidupan baru yang mengarah pada pelonggaran kebijakan setelah Idul Fitri. Padahal, saat ini masih ada penambahan kasus positif COVID-19,” kata Lestari di Jakarta, Selasa (19/5).


Berita Terkait



add images