Oleh : Dahlan Iskan
Menunggangi demo juga terjadi di Amerika. Penunggang itu pun ditangkap. Tiga orang. Kulit putih semua. Tiga hari lalu.
Mereka dari kelompok ”Boogaloo” --yang sangat jarang terdengar. Mereka saling sapa dengan sebutan Boogaloo Bois. Tujuan utama kelompok ini serem: terjadinya perang sipil jilid 2.
Anda sudah tahu: perang sipil sipil ”pertama” itu terjadi 1861-1865. Antara negara-negara bagian di selatan dengan yang di utara. Yang pro-perbudakan dengan yang anti. (Baca DI’s Way: Luka Lama).
Kelompok Boogaloo selalu ingin menunggangi apa saja. Mereka menyadari kelompok itu sangat kecil. Awalnya ingin memanfaatkan demo-demo anti-lockdown. Yang puncaknya terjadi di Michigan. Bulan lalu.
Tapi yang tiga orang itu jauh dari Michigan. Mereka tinggal di Las Vegas --nun di wilayah barat. Mereka juga mengincar momen demo anti-lockdown. Siapa tahu bisa ditunggangi. Disiapkanlah bom molotov dan gas dalam tabung. Untuk membuat demo itu nanti rusuh.
Tapi demo anti-lockdown di Las Vegas ternyata kecil. Sulit ditunggangi.
Sebulan kemudian ulam pun tiba: George Floyd tewas. Orang berkulit hitam itu tewas di tangan polisi kulit putih. Di Minneapolis. Muncullah demo besar anti-rasis.
Demo besar juga terjadi di Las Vegas. Tiga orang itu pun menuju pusat kota. Mereka membawa serta bahan peledak. Sasarannya: meledakkan gardu induk listrik.
Baik demo anti-lockdown maupun demo anti-rasis sama-sama berpotensi menasional. Tapi yang anti-rasis ini lebih besar.
FBI sudah mengetahui rencana itu. Mereka ditangkap. Dijebloskan ke tahanan. Mestinya. Tapi mereka membayar uang jaminan. Masing-masing Rp 15 miliar. Untuk bisa ditahan luar.
Gerakan Boogaloo ini memang mudah dilacak. Jalinan antar Boogaloo dilakukan lewat Facebook.
Berkat adanya medsos kehadiran kelompok ini menjadi eksis --meski tetap sangat kecil. Hampir tidak ada artinya. Tapi ketika disatukan oleh medsos menjadi terlihat. Terutama tiga tahun terakhir. Seragamnya pun unik --membuat kehadiran mereka terlihat: baju atas model Hawaii.