iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Pixabay)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Kementerian Sosial membutuhkan anggaran sebesar Rp1,3 triliun untuk melakukan verifikasi dan validasi (verivali) Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di tahun 2021. “Butuh Rp1,3 triliun total untuk verifikasi dan validasi DTKS agar bisa merambah seluruh kabupaten-kota,” kata Menteri Sosial Juliari Batubara saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI terkait data kemiskinan yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (1/7).

Mensos menjelaskan, anggaran yang diusulkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemensos 2021 untuk verivali DTKS sebesar Rp425 miliar. Anggaran tersebut menjangkau 12.430.000 ribu individu di DTKS di 32 provinsi kecuali Papua dan Papua Barat. “Saya minta yang menjadi peserta Program Keluarga Harapan dan Program Sembako yang lebih dulu diverifikasi dan divalidasi,” katanya.

Karena itu, Kemensos meminta tambahan anggaran sebesar Rp875 miliar sehingga total Rp1,3 triliun untuk verifikasi dan validas DTKS. “Dengan anggaran tersebut target bisa merambah 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi serta di luar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH dan Program Semako,” katanya.

DTKS berisi 97,3 juta data individu yang menjadi sumber data program-program penanganan kemiskinan di sejumlah kementerian. Sebanyak 10 juta KPM di DTKS menjadi peserta PKH dan 15 juta KPM yang menjadi peserta Program Sembako di Kemensos.

Di tempat yang sana, Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto meminta hanya ada satu data kemiskinan yang dikelola Kementerian Sosial agar tidak ada tumpang tindih dalam penyaluran bantuan sosial. “Kalau ada kementerian lain mau memberikan bantuan sosial, harus merujuk pada satu data kemiskinan dengan indikator yang sama agar tidak ada kecemburuan di masyarakat,” kata Yandri.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan selama ini masih banyak data kemiskinan yang tumpang tindih, nama yang sudah meninggal tetapi masih terdaftar, dan penerima bantuan yang tidak bisa dikonfirmasi alamat dan tempat tinggalnya. “Seharusnya hanya ada satu data karena negara ini satu pemerintahan. Satu identitas melalui KTP-el bisa disandingkan dengan data kemiskinan,” ungkapnya.

“Saat ini, masing-masing kementerian/lembaga punya data penerima bantuan sosial. Kementerian sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan lain-lain. Karena itu, perlu kita samakan,” sambung dia.

Ketiadaan satu data yang terpadu, kata Yandri, menyebabkan pemborosan keuangan negara karena satu penerima bantuan sosial bisa menerima bantuan dari beberapa kementerian/lembaga. Termasuk penerima bantuan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Yandri menyebut banyak data BPJS yang tidak sinkron dengan data Kementerian Sosial. “Di Indonesia ini, meskipun mampu kalau diberi bantuan tetap akan menerima. Karena itu, beban negara menjadi besar,” katanya.(dal/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait