Oleh : Dahlan Iskan
TESLA dan Elon Musk tiba-tiba populer di Bolivia. Tentu belum ada mobil listrik di negara pegunungan yang miskin di pedalaman Amerika Latin itu.
Bos Tesla itu populer di sana justru karena dibenci. Elon Musk memang punya keinginan menguasai sumber-sumber lithium di Bolivia. Di sanalah sumber lithium terbesar di dunia. Sebagai bahan baku baterai. Untuk proyek mobil listriknya. Atau untuk power bank skala 10 sampai 100 Megawatt-nya.
Ketika Juan Evo Morales menjadi presiden terlama di Bolivia (13 tahun) hubungannya dengan Amerika sangat buruk. Tambang-tambang tidak boleh dikuasai asing. Termasuk lithium. Yang sudah telanjur dikuasai asing pun diusahakan untuk nasionalisasi.
Bolivia juga tidak mau lagi menerima pinjaman dari Bank Dunia maupun IMF. Pembangunan ekonominya difokuskan ke pedesaan dan pelestarian alam. Morales memang suku asli pertama yang menjadi presiden Bolivia. Yang menurunkan gaji presiden di hari pertama pelantikannya.
Ia sangat mencintai petani, buruh dan sepak bola. Sampai umur 50 pun ia masih menandatangani kontrak sebagai pemain profesional sepak bola di klub lokal di sana. Dalam kedudukannya yang sudah menjadi presiden.
Maka ketika Morales mengundurkan diri sebagai presiden Bolivia tahun lalu, Elon Musk bersorak. Unggahan Twitter-nya menunjukkan itu. Apalagi Morales mengakhiri jabatan dengan harus bersembunyi di kampungnya di pedalaman. Sebelum akhirnya difungsikan ke Meksiko —dan kini berada di pengasingan di Argentina.
Morales sendiri merasa Amerika-lah yang mendalangi penggulingannya itu. Morales memang pro-Kuba, Venezuela, Iran, Libya, Palestina, dan Tiongkok. Ia anti imperialisme dan kolonialisme —termasuk yang versi modernnya.
Kegembiraan Elon Musk itu ternyata tidak lama. Dalam pemilu minggu lalu (18 Oktober 2020) jagonya kalah. Yang menang adalah partainya Morales: Partai Pro Sosialis.
Yang menjadi presiden adalah tangan kanan Morales. Yakni tokoh lulusan Inggris yang dua kali menjadi menteri keuangan dan ekonomi presiden Morales. Namanya: Luis Arce.
Ia bukan suku asli seperti Morales. Ia keturunan Spanyol -—sebagaimana umumnya orang Amerika Latin. Tapi ialah arsitek pembangunan ekonomi selama Morales jadi presiden.
Selama kekuasaan Morales, kemiskinan menurun sampai 10 persen. Pertanian ia utamakan —sebagai pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Yang rakyat pedesaan juga menyukai adalah dilegalkannya tanaman coca. “Coca itu tidak sama dengan cocaine,” ujar Morales.
Rakyat Bolivia memang tidak bisa dipisahkan dari tanaman coca. Yang salah satunya memang menjadi bahan baku cocaine – -melalui proses pengolahan beberapa tahap. Kandungan cocaine di dalam coca hanya 0.25 persen sampai 0.77 persen.
Suatu saat, di masa lalu, coca cola juga menggunakan bahan coca —yang kemudian beralih ke bahan pengganti.
Bagi penduduk setempat coca untuk dikunyah seperti sirih di Indonesia. Hanya campurannya bukan gambir dan kapur, melainkan bahan dari tanaman quinoa.
Coca juga dipakai untuk sayur, obat, tulang patah, wanita melahirkan dan analgesik —penahan sakit.
Bolivia memang jarang diperbincangkan. Juga baru sekali ini masuk Disway.
Di tangan presiden baru Luis Arce (57 tahun) ini Bolivia kelihatannya tetap kiri —tapi kiri dalam. Ia berjanji untuk tidak akan menjadi bonekanya Morale.
Memang sebelum pemilu tokoh-tokoh dari partai kiri terbang ke Argentina. Mereka berunding di tempat pengasingan Morales. Delapan jam mereka menyamakan misi. Akhirnya mereka sepakat memilih Luis Arca sebagai capres dari Partai kiri.
Presiden Arca tentu belajar dari banyaknya kontroversi selama Morales jadi presiden. Yang terlalu “merakyat”. Toh akhirnya Morales harus membangun jalan tol. Yang harus melewati hutan. Yang secara nyata berlawanan dengan tekad pertamanya untuk pro secara total terhadap pelestarian hutan.
Bahkan Morales di akhir masa jabatannya juga membangun istana baru. Yang salah satunya berupa gedung pencakar langit 29 lantai. Yang tertinggi di Bolivia.
Awalnya Morales juga memaksakan tokoh-tokoh suku asli seperti suku Aymara mendominasi kabinet. Tapi akhirnya ketahuan tidak bisa bekerja. Setahun kemudian harus reshuffle. Menteri yang suku asli tinggal 3 orang.
Morale juga pernah memaksakan 50 persen anggota kabinetnya perempuan. Tapi ia pun me-reshuffle-nya.
Bolivia begitu terisolasi di pedalaman Amerika Latin. Datarannya juga sangat tinggi —salah satu tertinggi di dunia. Separo penduduknya suku Indian —dengan berbagai kelompok dan bahasa.
Tapi di zaman Morale dunia menjadi tahu satu bentuk negara yang bukan Republik tapi juga bukan kerajaan. Bukan negara federal juga bukan negara kesatuan.
Bolivia oleh Morale diubah menjadi negara berbentuk ini: Plurinational. Yakni negara yang terdiri dari begitu banyak suku, bahasa dan budaya -—yang dijamin eksistensinya dan keterwakilannya.
Tapi mereka selalu bersatu dalam sepak bola. Mereka juga memiliki satu bahasa yang lebih tinggi dari bahasa nasionalnya. Yakni: bahasa bola. (*)