iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (pixabay)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Pro dan kontra tentang Rancangan Undang Undang (RUU) larangan minuman beralkohol terus mengalir. Usulan yang digelontorkan oleh 18 anggota DPR dari Fraksi PPP, PKS, dan Gerindra ini sedang diharmonisasi di Baleg DPR.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat mendukung pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol. Dengan UU larangan minuman beralkohol, berarti negara melindungi rakyatnya. Sebab minuman keras itu berbahaya bagi yang mengkonsumsinya.

“Minuman keras itu tidak baik, baik menurut agama maupun menurut ilmu terutama ilmu kesehatan,” ujar Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas, Jumat (13/11).

Dia mendesak agar pemerintah dan DPR ikut memperhatikan peredaran miras di tengah masyarakat dengan mengeluarkan peraturan yang tidak kontraproduktif.

“Pemerintah dan DPR jangan membuat peraturan yang akan membuat rakyatnya akan jatuh sakit dan atau akan terkena penyakit serta melanggar ajaran agamanya, apalagi kalau kita ingat bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” katanya.

“Miras itu kesimpulannya, dampak buruknya lebih besar dari manfaatnya, baik ditinjau dari segi agama maupun dari segi ilmu terutama ilmu kesehatan,” tambahnya.

Senada diungkapkan Ketua PP Muhammadiyah Bidang Majelis Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas. Menurutnya RUU larangan minuman beralkohol sangat sesuai dengan landasan Pancasila.

“RUU alkohol itu muatan moralnya kan tinggi dan itu sesuai dengan landasan Pancasila,” katanya.

Dari sisi lainnya, miras apapun bentuk dan mereknya akan berkorelasi dengan munculnya kejahatan-kejahatan sosial. Dan kejahatan itu bertentangan dengan kemanusiaan, dengan hak-hak masyarakat untuk hidup tenang.

“Sehingga dengan demikian kalau ada RUU larangan minunman beralkohol, adalah sebagai wujud dari aktualisasi implementasi Pancasila yang merespons perlindungan sosial kemasyarakatan yang wajib dilakukan oleh pemerintah,” katanya.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pimpinan DPR harus mendalami usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol sesuai dengan kapasitas masing-masing. Meski aturan soal produksi minuman beralkohol sudah ada, namun pengusul mungkin ingin memperkuat aturan tersebut agar dapat melindungi masyarakat.

“Sebenarnya kalau kemudian aturan terutama di daerah-daerah yang produksi (minuman beralkohol) itu kan sudah ada. Nah, tapi ini yang menyangkut misalnya minuman impor, dan lain-lain, mungkin dirasa oleh pengusul belum kuat untuk melindungi masyarakat. Tapi nanti kita sama-sama lihat, karena hal seperti ini memang harus dikaji lebih dalam,” ujarnya.

Dasco meminta agar tidak terlalu berlebihan menanggapi dinamika yang berkembang di masyarakat. Sebab semua masukan maupun penolakan dari masyarakat tentu akan menjadi perhatian Badan Legislasi DPR.

“Kita lihat nanti sejauh mana. Apakah ini nanti bisa dimasukkan lagi ke prolegnas ke depan atau tidak,” katanya.

Dasco mengatakan RUU Minuman Beralkohol dulu pernah dibahas DPR periode sebelumnya, tapi baru tahap pembahasan. Sehingga di periode sekarang, RUU itu dimulai ulang lagi pembahasannya.

“Baleg DPR masih tahap mendengar penjelasan pengusul,” ujarnya.

Setelah itu, Baleg DPR akan mengkaji lagi usulan tersebut. Sebelum menyerahkan ke pimpinan DPR untuk memutuskan, apakah RUU Larangan Minuman Beralkohol akan dibahas lebih lanjut atau tidak.

“Jadi untuk periode yang sekarang, itu masih dalam tahap pemberian penjelasan dari pengusul ke Baleg. Sehingga dinamika yang berkembang di masyarakat, saya pikir tidak perlu berlebihan. Justru, ini adalah suatu dinamika dalam pembahasan RUU di DPR. Di mana penolakan-penolakan maupun masukan-masukan akan menjadi perhatian dari Baleg untuk lebih mencermati pembahasan dari usulan dari pengusul tersebut,” katanya.

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman mengatakan RUU Minuman Beralkohol masih bersifat terbuka dengan berbagai masukan. Karenanya aturan soal minol sebaiknya dibuat berdasarkan karakteristik tiap daerah.

“RUU ini masih belum dibahas dan masih terbuka untuk didiskusikan apa isinya,” katanya.

Anggota Komisi II DPR menilai aturan minuman beralkohol ada baiknya diatur di tingkat undang-undang (UU). Dengan UU, diharapkan aturan akan lebih mengikat.

“Saya punya opsi pengaturan minol berdasarkan area. Mungkin untuk provinsi atau kota tertentu bisa diizinkan dengan pengawasan yang ketat. Itu dia yang saya maksud bisa dibuat pengaturan berdasarkan karakteristik daerah,” ucapnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai aturan minuman beralkohol dalam bentuk UU masih belum perlu.

“Jika belajar dari pengalaman yang kita lihat di berbagai negara, kalau minuman beralkohol ini terlalu ketat aturannya sehingga sangat sulit terjangkau justru berpotensi menimbulkan munculnya pihak yang nakal melakukan pengoplosan alkohol ilegal atau bahkan meracik sendiri,” katanya.

Dia menilai yang penting adalah penegakan aturan minuman beralkohol yang sudah ada selama ini.

“Sekarang kita lihat, aturan soal larangan konsumsi alkohol di bawah 21 tahun saja belum benar-bener ditegakkan. Begitu juga larangan menyetir ketika mabuk,” ujarnya.

Karenanya, jangan sampai pengetatan aturan terkait konsumsi alkohol justru mendatangkan masalah lain, seperti menjamur-nya minuman keras ilegal.

“Jangan sampai aturannya diperketat malah jadi makin banyak yang bandel, misalnya, malah ‘ngoplos’ alkohol sendiri yang bisa berdampak kematian. Ini malah lebih bahaya,” ucap dia.

Adanya RUU Larangan Minuman Beralkohol ditanggapi serius produsen, importir dan distributor minuman beralkohol.

Ketua Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI) Ipung Nimpuno mengatakan, pihaknya merasa semakin dipersulit dan diperberat untuk berusaha di Indonesia.

“Kalau kami pelajari selama 15 tahun terakhir kalau terkait minuman beralkohol itu paling tidak ada 36 peraturan yang mengatur, mengawasi, membatasi kegiatan minuman beralkohol. Dari produksinya dibatasi ada kuotanya, harus memiliki izin, baik pusat maupun daerah. Kemudian harus melapor setiap peredaran per botolnya,” ucapnya.

Tak hanya itu, konsumennya juga dibatasi hanya yang berusia di atas 21 tahun. Lokasi penjualan juga dibatasi. Selain itu produk minuman beralkohol juga dilarang untuk beriklan di media manapun.

“Untuk promosinya sama sekali tidak boleh melakukan di media apapun, baik di majalah, koran, billboard. Sedangkan produk BKT, barang kena cukai lain seperti rokok jauh lebih longgar,” katanya.

Pihaknya pun merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Hal itu dirasa karena mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda dengan rokok. Padahal minuman beralkohol dan rokok sama-sama produk yang memberikan kontribusi cukai.

“Sebetulnya kita iri juga kalau jadi anak tiri. Perlakuannya sangat beda, yang satu longgar yang satu sangat ketat, pasti merasa jadi anak tiri. Apalagi sekarang ada RUU itu,” tuturnya.

Dalam draft RUU Larangan Minuman Beralkohol memasukan sanksi pidana bagi peminum minuman beralkohol diatur dalam Pasal 20.

“Setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit (3) tiga bulan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling sedikit Rp 10.000.000 (sepuluh juta) dan paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).”

Sementara itu, pasal 7 yang dimaksud dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol berbunyi:

Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4.(gw/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images