Oleh: Dahlan Iskan
SAYA ingat sekali ide H M. Jusuf Kalla. Saya lupa, apakah saat jadi wapres pertama atau sebelumnya. Tapi ide ini cukup sering dilontarkan. Sebagai terobosan besar.
“Jalan tol yang sudah beroperasi dijual ke investor. Hasilnya untuk membangun tol baru,” begitu kurang lebih inti dari ide itu.
Logikanya sangat masuk. Yang diperlukan rakyat itu adalah jalan tol. Siapa pun yang memilikinya bukan persoalan besar. Untuk apa kukuh membangun sendiri, dimiliki sendiri tapi panjang jalan tol tidak banyak bertambah.
Ide itu muncul lantaran setelah jalan tol Jagorawi tidak kunjung ada jalan tol baru. Tapi menjual jalan tol sering dianggap sebagai menjual tanah air. Tidak nasionalis sama sekali. Bisa dianggap menjual bangsa. Dan kita akan terus menjadi kacung di negeri sendiri.
Ide itulah yang saya ingat ketika mengamati lahirnya Sovereign Wealth Fund (SWF). Saya sebenarnya setuju dengan ide Pak Jusuf Kalla itu. Tapi kini saya lebih setuju dengan ide SWF.
SWF adalah badan hukum Indonesia. Dapat dana dari APBN tapi, terutama, lebih dapat dana dari investor asing. Kalau jalan tol yang sudah beroperasi dibeli oleh SWF maka dua pulau berhasil dikayuh: pemilik jalan tol menjadi punya uang untuk membangun tol yang baru. Kelak dijual lagi. Dan seterusnya.
Sisi lain kebaikannya adalah: kepemilikan jalan tol tidak beralih ke investor asing. Kepemilikan hanya beralih ke SWF –yang itu adalah badan hukum Indonesia juga.
Tentu SWF tidak perlu menjadi lembaga yang gendut. Yang sampai memiliki organisasi pengelola jalan tol. SWF cukup memilikinya. Untuk mengoperasikannya SWF bisa bekerja sama dengan perusahaan pengelola jalan tol.
Memang, kuncinya, adalah sumber dana dari luar negeri itu. Apakah benar banyak. Seperti yang sering disuarakan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan –dengan semangat tinggi.
Lalu, kalau sumber dana itu begitu banyak, apa saja keinginan mereka?
Saya pernah mengetahui kebijakan SWF Temasek, Singapura. Ia hanya mau menempatkan dana kalau bisa mendapat gain 18 persen/tahun. Itu saya dengar dulu, 10 tahun yang lalu. Entahlah sekarang.
Mungkin karena itu Singapura tidak pernah disebut sebagai salah satu sumber dana SWF kita.
Tentu akan ada proses tawar-menawar. Bagi dana murah dari Jepang, Amerika, dan Eropa, mereka sudah akan senang kalau mendapat gain 8 persen. Dalam dolar.
Saya belum pernah mendengar apakah akan ada keterbukaan informasi soal gain bagi dana yang ditempatkan di SWF ini.
Bisa jadi kita mendapat bunga jauh lebih murah dari 18 persen itu. Asal pemerintah ikut menjamin keamanan uang itu. Termasuk keamanan persentase gain-nya.
Maka, bayangan saya, jalan-jalan tol yang sudah ramai, akan segera beralih kepemilikannya. Demikian juga pelabuhan-pelabuhan besar.
Saya masih sulit membayangkan dana SWF itu bisa mengalir ke sektor non-infrastruktur. Yang up and down-nya begitu mengkhawatirkan.
Tentu saya berharap banyaknya dana asing itu akan menjadi kenyataan. Dengan tuntutan ”gain persahabatan” –kalau uang itu mengenal istilah persahabatan. (*)