iklan Disway.
Disway.

Oleh: Dahlan Iskan

NANTI malam anak-cucu keluarga Tionghoa wajib berkumpul di rumah orang tua masing-masing.

Itulah inti Tahun Baru Imlek. Untuk menunjukkan bakti pada papa-mama mereka. Diiringi doa keselamatan dan kemakmuran. Lalu makan-makan. Terutama harus ada menu mi di dalamnya.

Tidak boleh ada perayaan. Tidak boleh pergi ke mana-mana –apalagi dengan alasan yang dicari-cari. Semua harus berkumpul di rumah orang tua. Perayaannya kelak, 15 hari lagi: di hari Cap Gomeh. Pergi-perginya ditunda dulu, setelah itu.

Sentral acara nanti malam hanya orang tua dan doa untuk kemakmuran. Sungkem kepada orang tua itu dimulai oleh anak tertua. Lalu adik-adik. Menantu-menantu. Lalu giliran cucu-cicit.

Itulah inti hari raya Tahun Baru Imlek. Sebelum ada pandemi. Makan malamnya pun yang paling istimewa.

Di Singapura malam Tahun Baru kali ini sangat berbeda. Gara-gara pandemi. Ada yang tetap kumpul keluarga tapi lebih terbatas.

Robert Lai, saudara saya itu, akan makan malam bersama secara virtual. Pakai Zoom. Robert punya tiga anak, wanita semua. Yang sulung tinggal di Kuala Lumpur. Bersama suami dan anak. Pandemi di Malaysia juga lagi parah.

Yang bungsu sudah setahun ini kembali ke Singapura. Dari sekolah di University of Pennsylvania. Juga dari bekerja di beberapa negara belahan lain dunia. Tapi dia tinggal terpisah. Di rumah sendiri di Singapura. Hanya yang bungsu yang bersama Robert dan istri.

Si bungsu itulah yang menyiapkan makan-malam-bersama secara Zoom.

Sejak kemarin di rumah Robert sudah dipasangi kamera baru. Untuk dihubungkan ke televisi. Televisinya didekatkan ke meja makan.

Yang di Kuala Lumpur akan menggunakan laptop. Yang ditaruh di atas meja makan. Demikian juga anak yang tinggal terpisah di Singapura. Dia akan menggunakan laptop. Dia sendirian di apartemen itu tapi tetap menyediakan mi yang sama dengan yang disajikan di rumah orang tua dan kakak sulungnyi.

Di masa lalu saya pernah bermalam-tahun-baru-Imlek di Singapura. Saya dan istri, bersama seluruh keluarga Robert. Kami makan malam bersama. Dengan sajian mi khas Singapura.

Bihun itu ditaruh di piring besar sekali. Di tengah meja. Beberapa jenis topping dihambur di atasnya. Saatnya tiba makan malam, kami yang mengelilingi meja, berdiri. Masing-masing memegang sumpit. Dengan chop stick itu kami mengaduk mi agar tercampur dengan topping-nya.

Cara mengaduknya yang khas Singapura. Tidak ada di negara lain: kami bersama-sama mengambil mi itu dengan chop stick. Sebanyak yang bisa kami jepit. Kian banyak yang bisa dijepit kian baik. Lalu kami angkat tinggi-tinggi mi itu. Kian tinggi kian baik. Untuk kemudian kami jatuhkan lagi ke piring besar itu. Kami ulangi adegan itu. Berkali-kali. Adu banyak. Adu tinggi. Sampai mi itu bukan saja tercampur. Tapi sampai berantakan. Banyak juga yang terhambur. Jatuh di luar piring. Berantakan. Padahal kemampuan bisa menjatuhkan mi agar tetap di atas piring juga bagian dari harapan.

Lalu kami duduk kembali. Membenahinya dan memakannya.

Waktu mencampur mi itu kami lakukan sambil berdiri karena mejanya cukup besar. Agak sulit menjangkau mi dari posisi duduk.

Dua kali saya bermalam Imlek di Singapura. Selalu begitu. Satu restoran, di semua meja, adegannya sama.

Meski pun kali ini secara Zoom adegan itu akan tetap dilakukan Robert dan anak-anaknya. Dari rumah masing-masing.

Di Tiongkok juga kian banyak yang memilih makan malam bersama di restoran. Saya juga dua kali mengalaminya. Bersama keluarga teman di sana. Tapi tidak ada adegan mencampur mi yang atraktif seperti di Singapura.

Tahun lalu di beberapa provinsi di Tiongkok masih bisa merayakan Imlek secara normal. Terutama di provinsi yang jauh dari Wuhan. Tapi kota Wuhan sendiri sudah mulai di-lock down. Agak telat. Lima juta orang sudah telanjur bepergian –berimlek ke kampung halaman masing-masing. Wuhan memang kota terbesar di Tiongkok tengah. Penduduknya sekitar 12 juta orang.

Saya punya teman di tetangga Hubei –yang ibu kotanya Wuhan. Hari ini –setahun yang lalu– ia sudah mendengar ada wabah besar di Wuhan. Tapi di provinsinya belum ada pembatasan apa pun. Istrinya minta agar hari itu pulang kampung ke provinsi Jiangshu. Bermalam tahun baru di kampung istri.

Teman saya itu minta-minta kepada istri agar keinginan itu dibatalkan. Wabah kian buruk. Tapi sang istri berkeras.

Maka sore itu mereka bermobil ke rumah orang tua suami dulu. Di desa. Sekitar 2 jam dari rumahnya. Setelah sungkem pada orang tua suami, mereka langsung tancap gas ke bandara. Mereka dapat pesawat jam 7 malam. Penerbangan itu satu jam.

Jam 9 malam mereka baru keluar dari bandara tujuan. Keadaan wabah sudah berkembang kian berat. Pembatasan-pembatasan sudah terjadi di kampung istri. Mereka juga tidak mau menerima kedatangan orang luar. Keluarga istri tidak jadi ada yang menjemput ke bandara. Perkembangan wabah berubah drastis dalam 12 jam terakhir.

Maka malam itu mereka tinggal di hotel. Dekat bandara. Ngototnya sang istri –untuk bisa bermalam tahun baru di kampung halaman– berakhir di hotel sepi.

Menurut rencana mereka hanya akan 2-3 hari di situ. Tapi wabah kian gawat. Tidak ada lagi penerbangan balik. Mereka akhirnya balik naik kereta api. Mumpung kereta juga belum dihentikan. Kebetulan jalur kereta itu tidak harus lewat stasiun Wuhan.

Setelah 4 bulan lock down Wuhan normal kembali. Seluruh Tiongkok terbebas dari pandemi. Semua penebangan sudah beroperasi normal. Demikian juga kereta api. Kasus-kasus baru Covid-19 memang masih ada. Tapi kisaran angkanya hanya belasan. Sempat beberapa hari, bulan lalu, mendekati 100/hari. Tapi segera kembali lagi ke angka belasan. Umumnya itu datang dari penumpang pulang dari luar negeri.

Apakah nanti malam ia akan makan malam bersama?

“Kemarin saya sudah bertemu orang tua. Nanti malam di rumah saja. Istri juga tidak ingin pulang kampung lagi,” ujar teman saya itu.

Mengapa nanti malam tidak ke kampung orang tua?

“Sekarang saya ini kan pengurus partai. Saya harus tunduk pada peraturan partai. Untuk membatasi diri di tahun baru ini,” katanya.

Demikian juga soal petasan. Ia tidak akan membunyikan petasan. Padahal budaya di sini seharusnya membunyikan petasan.

“Setelah pulang dari makan bersama orang tua, kami harus membunyikan petasan di depan pintu,” katanya. Itulah petasan ”tutup pintu”. Begitu rangkaian petasan meletus mereka masuk rumah. Tutup pintu. Lalu tidur. Petasan itu dimaksudkan agar roh-roh jahat tidak ikut masuk rumah.

Besok paginya, begitu bangun tidur, pekerjaan pertama adalah membuka pintu. Sambil meletakkan petasan di depan pintu. Untuk diletuskan pagi itu. Itulah petasan ”pembuka pintu”.

Sewaktu di Tiongkok, jam 10 pagi pun saya masih mendengar ada petasan meletus. Pertanda itu dari rumah yang bangunnya kesiangan.

Di Surabaya, saya menghubungi beberapa keluarga Tionghoa. Saya pun bertanya: bagaimana dengan acara makan malam di rumah orang tua nanti malam.

“Biasanya yang ikut makan 15 orang. Nanti malam mungkin hanya 5 orang. Yakni yang ada di rumah ini saja,” ujar Soedomo. Ia pemilik kopi Kapal Api. Yang terbesar di Indonesia itu. Yang juga tokoh Konghucu. Yang dua bulan lalu berhasil mendamaikan pertengkaran seru yang terjadi di kelenteng legendaris Tuban.

Yang tahun ini juga berubah adalah soal angpao (hong bao). Di hari pertama dan kedua Imlek –besok dan lusa– biasanya ramai sekali. Yang muda pergi ke rumah kerabatnya yang lebih dituakan. Bersama anak mereka.

Tentu besok pagi, di suasana pandemi, tidak ada lagi anak-anak yang datang ke rumah kerabat. Yang biasanya, mereka itu, harus diberi amplop merah. Bukan amplopnya yang penting, tapi isinya.

Inilah Imlek tanpa angpao –kecuali dikirim via online. Setidaknya gambar amplop merahnya. (*)


Berita Terkait



add images