iklan Masjid  Al Muttaqin yang dibangun 100 tahun silam di Pasar Rebo RT 01 Dusun Perdana, Desa Pantai Gading Kecamatan Bram Itam.
Masjid Al Muttaqin yang dibangun 100 tahun silam di Pasar Rebo RT 01 Dusun Perdana, Desa Pantai Gading Kecamatan Bram Itam. (GATOT SUNARKO/JE)

MASJID-masjid tua menyimpan banyak cerita sejarah. Salah satunya adalah masjid Al Muttaqin yang dibangun satu abad yang lalu di salah satu daerah di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar).

GATOT SUNARKO, Tanjab Barat

KABUPATEN Tanjabbar adalah salah satu kabupaten tertua di Provinsi Jambi. Keberagaman suku dan budaya di kabupaten ini hampir bisa dikatakan semuanya ada.

Terlebih terkait keyakinan yang dianut oleh masyarakat pun terjaga dengan harmonis di Bumi Serengkuh Dayung Serentak Ketujuan ini.

Dengan jumlah penduduk di atas dari 200 ribu jiwa, mayoritas penduduk di Tanjabbar memeluk agama Islam. Bukti-bukti perkembangan Islam pun masih bisa dijajaki. Seperti  tampak dari sebuah mesjid tertua yang berdiri di Kabupaten Tanjabbar ini.

Masjid  bersejarah itu bernama Masjid Al Muttaqin. Masjid ini merupakan masjid tertua yang dibangun 100 tahun silam. Masjid tertua ini terletak di Pasar Rebo RT 01 Dusun Perdana, Desa Pantai Gading Kecamatan Bram Itam.

Butuh waktu hampir dua jam dari Kota Kuala Tungkal untuk melihat masjid yang menimpan nilai historis tinggi ini.

Akses ke lokasi pun terbilang cukup sulit dengan melewati jalan-jalan desa, tapi sedikitpun menyurutkan semangat wartawan koran ini untuk bisa sampai di lokasi masjid itu.

Tidak ada perubahan berarti dari bangunan masjid tersebut, tampak terlihat kubah kecil bangunan masjid yang masih terbuat dari besi dan atas sirap yang terbuat dari papan. Ada tiga undukan di atap masjid, sementara kubah satu ukuran besar dan satu lagi berukuran kecil, sebagai penanda untuk lokasi imam sholat.

Selain itu, masih tampak jelas merk  masjid yang terbuat dengan tulisan Arab, terukir  di sebuah papan, terlihat begitu klasik.

Bagian luar masjid tampak seperti masjid pada umumnya, bangunan masjid pun masih berbahan kayu. Dibangun serupa rumah panggung bertiang banyak, layaknya rumah-rumah warga yang bermukim di sepanjang aliran Sungai Batanghari. Hanya saja, tiangnya tidak terlalu tinggi, tapi cukup kokoh untuk menopang masjid dengan lantai papannya. Sementara, sebuah teras juga terdapat di masjid ini.

Pada bagian dalam masjid, tampak ada empat tiang penyangga bangunan yang terbuat dari kayu Bulian. Kayu itupun merupakan kayu utama sama halnya dengan bangunan masjid yang berusia 100 tahun lebih.

Berdasarkan penuturan dari tokoh masyarakat setempat, Jaelani,  empat tiang kayu tersebut didatangkan langsung dari Kalimantan. Maklum saja, warga sekitar yang berada di daerah ini merupakan suku Banjar dari Kalimantan.

‘‘Masjid itu dibangun tahun 1918, dan bangunan yang memang asli itu atap sirap sama empat kayu besar penyangga. Kalo atap sirap itu dari kayu dibuatnya, masih sampai sekarang tidak ada perubahan. Kalo bangunan lain itu ada yang diperbaiki karena kan terbuat dari papan juga, ada yang rusak kita ganti,’‘ terangnya.

Meskipun jarak area mesjid dengan pemukiman warga terbilang jauh, namun masjid tersebut hingga saat ini masih digunakan oleh masyarakat sekitar untuk shalat berjamaah lima waktu maupun shalat jumat dan acara besar islam lainnya. Bahkan pihak pengurus mesjid juga memanfaatkan mesjid sebagai tempat pengajian.

‘‘Untuk aktifitas shalat, pengajian, Alhamdulillah sampai saat ini masih berjalan,’‘ ungkap Jaelani.

Diceritakannya, masjid Al Muttaqin yang dibangun pada tahun 1918 tersebut atas inisiatif dari tiga orang ulama. Tiga ulama tersebut yakni Abdul Wahab, Tuan Guru Safat dan Abdurrahman Sidik. Hal inilah yang diungkapkan oleh Jaelani, tokoh masyarakat sekitar. 

‘’Pembangunan masjid tersebut atas inisiatif tiga ulama tersebut,’’ jelasnya.

 Masjid tersebut memang diperuntukkan bagi warga sekitar yang ingin beribadah dan juga melakukan kegiatan-kegiatan islami sebagai siar agama.

‘‘Jadi memang dibangun untuk tempat ibadah dan menuntut ilmu. Jadi tiga ulama ini yang menyiarkan agama islam di Tanjabbar dengan pembangunan masjid pertama di Kabupaten Tanjabbar ini,’‘ ungkapnya.

Di sisi lain, masyarakat sangat menjaga kondisi masjid  tertua ini. Meski demikian, karena kondisi bangunan tua, sehingga menyebabkan sebagian bangunan mengalami kerusakan dengan papan-papan lantai yang sudah dimakan usia.

‘‘Di sekitar sini zaman dahulu cukup ramai, juga ada Madrasah tapi madrasahnya sudah hilang,’‘ demikian katanya.

Kakek yang berumur 80 tahun ini berpesan kepada masyarakat sekitar dan juga para generasi muda untuk tetap merawat dan memberdayakan masjid tersebut agar bisa terus digunakan.

Ketua Masjid Almuttaqin, Boimin, menyebutkan, bahwa ada keinginan dari masyarakat untuk merenovasi bangunan masjid ini.

Namun, karena tidak ada biaya pihaknya hanya memperbaiki bangunan dengan seadanya. Masyarakat menginginkan bangunan masjid tertua di Kabupaten Tanjabbar ini menjadi tempat sejarah yang dapat dijaga terus menerus sebagai bukti penyebaran islam di Tanjabbar.

‘‘Harapan masyarakat kepada pemerintah ataupun dermawan untuk merenovasi bangunan ini jauh lebih bagus lagi tanpa menghilangkan ciri khas bangunan ini. Harapannya ini menjadi wisata rohani untuk masyarakat mengetahui jejak penyebaran Islam di Tanjabbar,’‘ pungkasnya. (Bersambung)

 

 


Berita Terkait



add images