iklan
(NICCO PLAMONIA FOR JAMBIUPDATE)

BERPUASA di Eropa tentu membuat mahasiswa Indonesia asal Jambi harus bisa menyesuaikan diri. Termasuk Nicco Plamonia, mahasiswa asal Kerinci pemilik dua gelar master yang kini sudah menyandang titel Ph.D dari University of Twente, Belanda. Berikut ceritanya.

 

PIRMA SATRIA, Jambi

 

BERPUASA di Belanda, tepatnya di kota kecil bernama Enschede memang menantang. Jauh dari keluarga, di negeri orang, dengan suasana Ramadan yang jauh berbeda dibandingkan dengan di Tanah Air.

Tidak ada jajanan takjil, atau kolak pisang manis yang mudah didapatkan dari pinggir jalan menjelang berbuka. Suasana berpuasa di Negeri Kincir Angin sangat mengesankan.

Bagi Nicco Plamonia, lulusan Doktor Teknik Sipil dari Universitas Twente, Belanda, tinggal selama tujuh tahun di Eropa mengajarkannya bahwa berpuasa di negeri sendiri pantaslah disyukuri.

‘’Kalau di Indonesia, apa lagi di Jambi atau di Kerinci, takjil bisa didapatkan di mana saja saat Ramadhan, sangat berbeda dengan di Belanda,’’ ujar  bapak satu anak ini.

Menurut Cerita Nicco, berada di belahan utara bumi yang dekat dengan kutub utara, suhu di Kota Enschede pada bulan Mei sampai dengan Juli atau periode peralihan musim semi ke musim panas, bukan main panasnya. Suhu pada siang hari misalnya bisa mencapai 30 derajat celcius. Pada periode ini, kita akan melihat orang Belanda melakukan penyesuain terhadap musim dengan merubah pakaian musim dingin menjadi pakaian musim panas yang umumnya terbuka.

‘’Kondisi cuaca menjadi tantangan tersendiri utamanya bagi muslim yang berasal dari daerah tropis seperti, Indonesia. Ketika bulan puasa jatuh pada musim semi dan musim panas maka kita akan menjalankan puasa dengan suhu pada siang harinya mencapai 30 derajat Celsius,’’ katanya.

Selain suhu, durasi puasa menjadi lebih panjang, durasi puasa berkisar antara 18,5 sampai 19 jam atau dimulai sekitar 03.00 (imsak) berakhir dengan waktu berbuka sekitar pukul 22.00 (malam).

Dekatnya jarak waktu berbuka puasa dengan sahur, sebutnya, membuat mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia memilih untuk tidak tidur setelah tarawih, untuk mengantisipasi ‘terlewatnya’ waktu sahur jika tidur sekitar jam 23.00 dan harus bangun jam 03.00 subuh untuk sahur.

“Kalo saya dan istri lebih memilih setelah tarawih tetap bangun saja sampai sahur, kemudian tidur setelah subuh sampai menjelang siang,’’ katanya.

“Yang kasihan tuh istri saya, mau tidak mau harus bagun pagi karena harus mengantarkan Alif (Putranya, red) ke sekolah jam 7 pagi, jam tidurnya berkurang,’’ katanya.

Sementara bagi mahasiswa muslim, tantangan-nya adalah kembali melakukan aktivitas kuliah maupun penelitian dengan perut lapar. “Hari terasa lebih panjang ketika lapar dan harus mikir,” sambungnya. Padahal pada musim semi, sebutnya, durasi siang memang lebih panjang sehingga pada saat jam 20.00 aktivitas di luar rumah masih bisa dilakukan.

“Di luar langit masih sangat terang, panas, dan waktu berbuka masih sangat lama,’’ sebutnya.

Beberapa mahasiswa muslim di Enschede memilih kegiatan bersepeda, bersantai, membaca, maupun berolahraga menjelang berbuka.

Ukuran untuk berbuka menggunakan aplikasi penunjuk waktu sholat maghrib bukanlah suara bedug magrib dari masjid terdekat.

“Beberapa kali untuk mengobati suasana berpuasa di Indonesia, Persatuan Pelajar Indonesia akan melakukan acara berbuka bersama secara bergiliran di rumah orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Sekedar mengobati rasa kangen kampung halaman,”  kelakarnya.

Nicco menyewa rumah dua lantai dan sempat menyewakan kamar (suplet) kepada mahasiswa yang tidak menjalankan ibadah puasa. Namun tinggal serumah maupun bekerja dengan mahasiswa yang tidak menjalankan ibadah puasa bukanlah kendala. Menurutnya, orang Belanda sendiri sepenuhnya sangat pengertian dan menghormati yang menjalankan ibadah puasa.

“Teman-teman Belanda saya paham bahwa orang Indonesia itu banyak yang berpuasa, hubungan masa lalu Indonesia dengan belanda menyebabkan mereka paham bahwa orang Indonesia mayoritas muslim,” pungkasnya. (*)


Berita Terkait



add images