iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Shutterstock)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, naik 24 sen, atau 0,3 persen, menjadi USD73,13 per barel. Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), naik 26 sen, atau 0,4 persen, menjadi USD71,52 per barel.

Pengetatan pasokan oleh negara-negara penghasil minyak atau OPEC Plus, serta stok minyak Amerika yang menyusut menjadi penyebab utama harga minyak melonjak. Namun demikian, kekhawatiran atas adanya pembatasan akibat virus corona, dikombinasikan dengan aktivitas pabrik yang melambat di negara-negara pembeli utama membatasi kenaikan harga minyak tersebut.

Kondisi itu juga mendongkrak harga Indonesian Crude Price (ICP) ke level yang lebih tinggi.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, situasi ini bisa dimaknai dua hal, yaitu keberkahan untuk sektor hulu, namun bisa juga menjadi kerugian bagi sektor hilir, karena pengaturan penjualan sektor hilir di Indonesia yang dinilai masih membebani badan usaha.

“Di sektor hulu ini jadi berkah karena memang dengan harga yang tinggi ini kan secara otomatis nanti ICP kita kan masih terus akan meningkat. Sedangkan ICP ini kan akan menjadi acuan PNBP (Pendapatan Negara bukan Pajak) di sektor hulu migas. Jadi ketika harga tinggi maka PNBP kita dipastikan akan mengalami peningkatan ICP kita kan di APBN 2021dipatok USD45 per barel. Sedangkan saat ini kan sejak awal pandemi kan sudah diatas USD45 per barel,” jelas Mamit kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (3/8).

Sementara untuk sektor hilir, kenaikan harga minyak berarti kenaikan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) di tingkat hilir atau SPBU.

“Sebenarnya tidak terlalu berdampak terhadap masyarakat, tapi cukup banyak dampaknya bagi badan usaha seperti Pertamina. Karena kalau kita lihat harga BBM Pertamina tidak mengalami kenaikan, sedangkan harga minyak dunia naik,” ungkapnya.

Di sisi lain, kata Mamit, meski harga BBM di SPBU swasta sudah beberapa kali naik, namun di SPBU Pertamina belum pernah naik. Hal ini tentu menimbulkan dampak yang besar bagi perusahaan.

“Dalam perhitungan saya ada kerugian yang cukup besar yang dialami Pertamina terutama untuk jenis BBM non subsidi seperti Pertamax, Pertalite, atau Pertamax series. Karena kalau harga minyak naik otomatis harga MOPS di Singapura juga naik. Dan kurs mata uang rupiah juga saat ini tidak baik, ini mempengaruhi keuangan Pertamina,” pungkasnya. (git/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images