Oleh: Dahlan Iskan
“Jangan sampai bertemu insinyur. Bisa mimpi buruk.”
Itulah guyon di kalangan orang keuangan. Yang segala sesuatunya harus direncanakan baik-baik, harus disesuaikan dengan kemampuan, tidak boleh besar pasak daripada tiang.
Apalagi kalau insinyur itu sekaligus politikus. Akan terlalu banyak rencana besar. Yang suka bikin pusing orang keuangan.
Misalnya proyek jalan tol Sumatera itu. Dari Lampung sampai Aceh. Tidak akan mungkin ide seperti itu lahir dari orang keuangan.
Orang keuangan pasti sudah terbirit-birit sebelum ide itu dilontarkan: itu tidak visibel, IRR-nya rendah, siapa yang akan lewat, pemborosan, tidak ada uang, dan 2 triliun lainnya.
Tapi orang keuangan harus tunduk pada keputusan politik. Maka begitu, Presiden Jokowi memutuskannya orang keuangan harus mencarikan jalan –dari mana biayanya.
Termasuk kalau pun jalan tol sepanjang lebih dari 3.000 km itu harus sudah selesai tahun 2024.
Itulah keputusan politiknya.
Maka inilah pelajaran ”pemikiran keuangan” untuk mencapai ambisi besar.
Sampai hari ini ”orang keuangan” baru mengeluarkan dana Rp 25 triliun. Padahal sudah 1.100 km jalan tol Sumatera yang sudah jadi dan sedang dikerjakan. Kalau dihitung, sekarang ini, memerlukan dana Rp 130 triliun.
Berarti Dirut Hutama Karya Budi Hartono, harus sangat ubet untuk mencukup-cukupkan dana yang ada.
Apalagi HK hanya bisa dapat pinjaman komersial Rp 42 triliun. Berarti masih kurang dana sekitar Rp 70 triliun.
Tahun ini Hutama Karya sudah dapat janji PMN baru, Rp 25 triliun. Masih kurang lagi Rp 45 triliun.
Belum tahu akan didapat dari mana.
Dari mana?
“Pasti ada jalan keluar,” begitulah keyakinan orang-orang yang punya ambisi besar.
“Kalau ada kemauan pasti ada jalan,” mantra itu yang sering jadi ideologi.
“Kalau sudah kepepet pasti menemukan ide baru,” itu jenis mantra yang lain.
Memang belum tahu dari mana kekurangan itu akan ditutup. Bahkan belum tahu juga dari mana uang untuk mengembalikan utang Rp 42 triliun itu.
Pendapatan jalan tol di Sumatera pasti masih rendah dan sangat rendah. Dan masih akan terus rendah sampai banyak tahun ke depan.
Jembatan Suramadu pun dulu juga begitu. Kalau pakai itung-itungan keuangan tidak akan pernah ada jembatan Surabaya-Madura itu.