JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Kurs tukar rupiah berada di posisi Rp14.242 per dolar AS, pada akhir perdagangan di pasar spot pada Kamis (23/9/2021). Posisi ini sama dengan penutupan di sesi sebelumnya alias rupiah bergerak stagnan.
Sementara itu, berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah rupiah berada di posisi Rp14.256 per dolar AS atau melemah dari perdagangan sebelumnya, yakni Rp14.249 per dolar AS.
Direktur PT.TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar naik pada Kamis dan mencapai level tertinggi dalam sebulan karena Federal Reserve AS (The Fed) berencana untuk memulai pengurangan aset dan menaikkan kenaikan suku bunga jauh lebih cepat daripada rekan-rekan pasar negara maju.
“The Fed tidak mengumumkan bahwa mereka akan memulai pengurangan aset saat menurunkan keputusan kebijakannya pada hari Rabu. Namun, bank sentral mengatakan, moderasi dalam laju pembelian aset akan segera dibenarkan, dengan Ketua Jerome Powell menambahkan bahwa anggota dewan percaya bahwa pengurangan dapat berakhir sekitar pertengahan 2022, membuka jalan bagi kenaikan suku bunga setelah itu,” ujar Ibrahim dalam keterangan hasil risetnya, Kamis (23/9/2021).
Disisi lain, China Evergrande Group (HK:3333) pada Rabu untuk sementara meredakan kekhawatiran tentang kejutan pasar yang akan segera terjadi akibat krisis utangnya. Pengembang properti mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan pembayaran bunga obligasi domestik.
“Sementara People’s Bank of China juga menyuntikkan uang tunai ke dalam sistem perbankan. Investor dengan gugup menunggu apakah perusahaan dapat memperoleh bunga USD 83,5 juta pada obligasi luar negeri, yang jatuh tempo pada hari Kamis, serta kewajibannya USD300 miliar,” ungkapnya.
Kemudian dari internal, pasar merespon positif terhadap pernyataan Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Agustus 2021 mencapai Rp382,2 triliun atau setara 2,04 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Defisit ini dianggap wajar karena bersamaan dengan kondisi ekonomi global yang sedang bermasalah akibat pandemi Covid-19 yang sampai saat ini masih belum ada kejelasan, kapan pandemi ini berakhir,” tuturnya.
Menurutnya, defisit anggaran terjadi akibat belanja negara lebih besar dibanding pendapatan negara. Dimana belanja negara tercatat sebesar Rp1.560,8 triliun atau 56 persen dari target Rp2.750 triliun. Sementara penerimaan negara sebesar Rp1.177 triliun meliputi penerimaan pajak mencapai Rp 741,3 triliun atau tumbuh 9,5 persen.
Secara rinci, belanja negara meliputi belanja pusat yang mencapai Rp1.087,9 triliun atau naik 10,9 persen. Lalu, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Rp472,9 triliun atau turun 15,2 persen. Adapun realisasi investasi pemerintah baru Rp61,8 triliun atau 33,5 persen dari pagu Rp187,1 triliun.