“Namun pada kenyataan di lapangan, rumah tangga dan usaha kecil makanan pada teriak. Ini pasti ada yang salah, apakah kebijakan ataupun aplikasi di lapangannya,” bebernya.
Ia menjelaskan, bahwa persoalan sawit ini dua tahun terakhir diliputi oleh persoalan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang banyak tidak sesuai dengan harapan.
Ditambah lagi, adanya petani sawit mandiri (PSM) yang terancam gulung tikar dengan adanya tingginya harga pupuk. Selain itu, tambahnya, ada kejadian turunnya panen sawit pada semester ke-2 di dalam negeri.
Sangat ironi, bahwa pada periode Januari-Agustus 2021, industri kelapa sawit sudah berkontribusi devisa kepada negara hingga USD26,3 miliar atau setara dengan Rp380 triliun.
“Akan tetapi, di saat yang sama, rakyatnya menjerit akan tingginya harga minyak goreng. Jangan sampai suplai CPO yang terbatas menjadi alibi yang menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng,” ujarnya.
Kata Akmal, seharusnya turunnya pasokan minyak sawit dunia seiring dengan turunnya produksi sawit Malaysia merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk mengendalikan pasar dunia.
Adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30 dapat menjadikan Indonesia sebagai produsen sawit dengan skala besar sebagai pemimpin pasar.
Negara kita sudah saatnya mengendalikan isu sawit yang selama ini di bully beberapa negara luar karena persoalan lingkungan. Bahkan ada yang sampai mengampanyekan memboikot sawit kita dan berkonflik di perdagangan internasional.
“Prioritas utama penuhi dahulu kebutuhan dalam negeri, baru berikutnya memenuhi permintaan negara luar. Semoga persoalan tingginya harga minyak goreng dalam waktu dekat dapat diselesaikan dengan hadirnya peran negara memberikan solusi yang baik,” tutupnya. (fin/fajar)
Sumber: www.fajar.co.id
