iklan Disway
Disway

Oleh: Dahlan Iskan

KETERLALUAN. Kampung ayah saya hanya 15 Km dari Trinil. Tapi perlu waktu 70 tahun bagi saya untuk ke sana: Jumat lalu. Begitu banyak buku saya baca.

Termasuk soal asal-usul manusia. Tapi saya baru bisa ke Trinil setelah sebagian besar isi buku itu terlupakan.

Maka baru sekarang saya tahu: Trinil itu bukan nama desa. Museum Trinil itu ternyata di Desa Kawu. Sekitar 14 Km di Barat kota Ngawi.

Untuk ke sana juga mudah sekali. Keluar dari exit tol Ngawi belok kiri –masuk ke jalan lama Surabaya-Jakarta.

Ada penunjuk arah di pinggir jalan raya itu. Di pertigaan itulah belok ke arah utara. Ada gerbang khas Majapahit di mulut jalan masuk itu.

Dari mulut jalan itu hanya diperlukan dua kali belok. Belok kiri dan belok kanan. Sampai. Di tiap belokan ada penanda khas: manusia Trinil.

Museum Manusia Trinil ini terawat baik. Bangunannya tidak besar tapi kukuh. Kebersihan terawat. Kerapian terjaga. Pohon dan taman terpelihara.

Luas area museum ini 2,5 hektare. Ada ruang pertemuan terbuka di tengahnya. Seperti gazebo. Lalu ada gedung utama. Di situlah fosil manusia Trinil dipajang. Dilengkapi satu diorama dan beberapa diagram.

Di pojok taman, dekat dengan sungai Bengawan Solo, ada satu tugu setinggi perut manusia.

Di salah satu sisinya ada tanda panah. Di panah itu ada tulisan 175 meter. Artinya: 175 meter dari tugu itu penggalian arkeologi yang sangat bersejarah dilakukan: di tahun 1891 sampai 1893.

Yang melakukan penggalian itu, Anda sudah tahu: Eugene Dubois. Peneliti Belanda itu pula yang membangun tugu bertanda panah itu. Kalau mengikuti arah panah di tugu itu, jelas lokasi penggaliannya di seberang sungai

Bengawan Solo. Tepat di pinggir bengawan. Di belokan sungai. Ada bambu dan pohon yang tumbuh di bekas lokasi penggalian.

Hari-hari ini air di Bengawan Solo sangat tinggi. Warna airnya keruh. Sekarang memang lagi musim hujan.

Penggalian dilakukan di musim kemarau. Ketika airnya sedikit. Untuk menyeberang pun cukup dengan perahu kecil. Yang dijalankan dengan galah.

Saya lama berdiri di pagar museum itu. Memandangi Bengawan Solo agak lama. Sambil membayangkan masa lalu yang jauh.

Ternyata, 1,8 juta tahun yang lalu sudah banyak manusia menghuni kawasan ini. Manusia Trinil. Yang wujudnya bisa Anda lihat sendiri di foto yang menyertai tulisan ini. Berdiri tegak seperti manusia modern. Hanya bentuk kepala, wajah dan ukuran panjang tangannya yang sedikit beda. Sedikit sekali.

Apakah orang seperti saya ini keturunan Manusia Trinil? Saya harus bertanya kepada ahlinya.

Yang saya tahu, asal usul ayah saya dari Yogyakarta. Bahwa lahirnya tidak jauh dari Trinil itu akibat Jogja dilanda perang di tahun 1825-1830.

Anda tahu: saya pernah memeriksakan DNA di Amerika Serikat. Hasilnya: saya ini keturunan Neanderthal (2,5 persen), China (5 persen), Arab (2,5 persen), dan suku Indian (American Indian 2,5 persen). Sisanya, yang terbesar, asli Asia Tenggara. Sayang Asia Tenggaranya tidak bisa dirinci: Vietnam? Yun Nan? Sunda? Sangiran? Trinil?

Harusnya lembaga peneliti DNA Amerika itu memeriksa gen Manusia Trinil. Sehingga bisa tahu: benarkah Manusia Trinil itu sudah punah total. Sehingga kita-kita ini tidak punya sedikit pun darah Trinil.
Tapi semua itu salah. Prof Dr Harry Widianto sudah mempelajari semua itu.

“Manusia yang sekarang ini tidak ada hubungannya dengan Manusia Trinil maupun Manusia Sangiran,” ujarnya.
Prof Harry adalah ahli antropologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Ia memperdalam ilmunya di Prancis. Sampai memperoleh gelar doktor di sana. Disertasinya mengenai fosil Jawa lama maupun yang baru, yang belum dipublikasikan.

Bentuk otak manusia Trinil, kata beliau, sama sekali berbeda dengan manusia sekarang. Otak manusia Trinil memanjang ke belakang. Otak manusia modern relatif bulat. Itu bisa diketahui dari bentuk tengkorak yang ditemukan.

Trinil sendiri, ujar Prof Harry, adalah nama desa di tepi Bengawan Solo, di barat Ngawi itu.

Bahwa sekarang tidak ada Desa Trinil itu karena Trinil hanya satu pedukuhan kecil.

Manusia Trinil, ujar Prof Harry, datang dari Afrika. Yakni sekitar 1,8 juta tahun lalu. Mereka menyebar ke mana-mana. Termasuk ke Jawa.

Maka mereka juga disebut Manusia Jawa. Disebut juga Homo Erectus. Mereka itu hidup di Jawa ratusan tahun. Baru punah sekitar 150.000 tahun lalu. Punah sama sekali.

Penyebab punahnya tidak diketahui pasti. Tapi setidaknya ada 3 teori.
Teori pertama: akibat hujan meteor.

“Teori ini ada dasarnya. Hujan meteorlah yang terbuktimengakibatkan dinosaurus punah 65 juta tahun yang lalu,” ujar Prof Harry.

Hujan meteor itu juga terjadi di Jawa sekitar 700.000 tahun lalu. Tapi, kata Prof Harry, tidak sampai memusnahkan manusia Jawa.

“Manusia Jawa kan baru punah 150.000 tahun lalu. Berarti penyebabnya bukan hujan meteor,” ujar Prof Herry yang sampai sekarang masih mengajar di Prancis dan Spanyol.

Beliau berhenti menjadi guru besar di UGM karena menjabat salah satu direktur di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Kemungkinan kedua akibat letusan gunung berapi yang hebat. Tapi agak lemah. Terbukti berbagai letusan gunung berapi tidak pernah sampai memusnahkan manusia.

Kemungkinan lain adalah perubahan iklim yang drastis. Kemungkinan ini sangat kuat.

“Terlihat dari terbentuknya lapisan tanah tertentu di Sangiran,” ujar Prof Harry.

“Saya memegang yang nomor 3. Yakni akibat perubahan iklim mendadak. Dari humid ke arid,” ujarnya.


Berita Terkait



add images