Sang Papa menolak dibawa ke rumah sakit. Covid memang sudah reda tapi masih ada ancaman Omicron.
Malam itu sesaknya bertambah-tambah. Tekanan oksigen di rumahnya tidak cukup kuat. Tidak kuat lagi. Keesokan harinya Ongko dibawa ke rumah sakit. Langsung masuk ICU. Dibantu oksigen. Diberikan berbagai obat. Tiga hari kemudian meninggal dunia.
Ongko memang menderita diabetes sejak lama. Hobinya makan enak.
Papanya Ongko kaya karena dagang tekstil dan membangun properti. Hotel terbaik Surabaya pada zamannya, Olympic, Keputran, adalah miliknya.
Demikian juga Hotel Niagara di Lawang, dekat Malang. Yang bangunannya mirip kastil di Eropa. Yang pernah berpuluh tahun jadi ikon Lawang.
Tidak jauh dari Niagara itu pula, kelenteng besar ia bangun: persis meng-copy salah satu kelenteng berdewa besar di Taiwan. Masih eksis sampai sekarang.
Masyarakat Tionghoa Surabaya umumnya tahu kisah sukses ayah Ongko ini. Terutama kisah bagaimana ia sampai punya istri empat —dengan total anak 39 orang.
Waktu istri pertama sudah melahirkan lima anak, sang istri sakit keras. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan. Sang suami akhirnya mencari laokao —ahli guamia/hongsui— sampai ke Tiongkok.
"Agar istri tidak meninggal, nyawanya harus disambung," ujar sang laokao —kira-kira saja begitu. Cara menyambung nyawa itu adalah: harus ada istri kedua.