JAMBIUPDATE.CO,- Saat salat magrib dikumandangkan di reruntuhan Gaza, keluarga Abu Rizek berbuka puasa dengan makan bersama di reruntuhan rumah mereka. Kesedihan meliputi keluarga ini, mengingat semua yang telah hilang akibat agresi militer Israel sejak Oktober lalu.
Meskipun keluarga tersebut telah berhasil mengumpulkan cukup makanan untuk berbuka puasa, banyak orang lain yang kurang beruntung di daerah kantong Palestina yang dilanda kelaparan. “Ramadan tahun lalu bagus tapi tahun ini tidak. Banyak barang yang sudah tidak ada lagi. Saudariku, keluargaku. Rumah kami hancur. Masih ada orang di bawah reruntuhan yang belum bisa dikeluarkan,” kata Um Mahmoud Abu Rizek.
Dia duduk bersila di antara dinding-dinding beton yang runtuh dan sedang memasak di atas api. "Kami hanya makan sup dan makanan kaleng. Sekaleng kacang-kacangan. Kami sangat bosan dengan makanan kaleng dan merasa muak. Anak saya terus-menerus mengatakan perutnya sakit," katanya.
Saat Ramadan tiba, hampir setiap tahun keluarga Abu Riziek berkumpul dengan teman dan tetangga untuk duduk di malam hari. Mereka makan, berdoa, dan merayakan bersama.
“Tahun ini tidak ada tetangga atau orang-orang tercinta. Mereka tidak ada lagi di sini. Yang tersisa hanyalah kami dan anak-anak, duduk di sini. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kami,” katanya.
Dengan hampir seluruh impor pangan dihentikan, sebagian besar penduduk Gaza kini sepenuhnya bergantung pada bantuan. Banyak di antara mereka yang hanya makan di dapur umum, termasuk saat berbuka puasa di bulan Ramadan.
Di salah satu dapur di Rafah, orang-orang berkerumun sambil memegang mangkuk plastik untuk sesendok makanan. “Setiap hari kami punya 35 panci makanan, tapi 35 panci saja tidak cukup. Bahkan 70 panci saja tidak cukup,” kata relawan Adnan Sheikh al-Eid. Ia berharap bisa memberi makan lebih banyak orang yang putus asa dan terlantar di pengungsian.
Seperti Abu Rizek, Al-Eid hanya bisa mengenang nikmatnya Ramadan tahun-tahun sebelumnya. “Dulu ada dekorasi, makanan dan minuman. Tahun ini ada kesedihan dan keputusasaan,” ujarnya. “Saya berusia 60 tahun dan saya belum pernah mengalami Ramadan seperti ini,” katanya. (*)