iklan

JAMBIUPDATE.CO, YOGYAKARTA– Mardani H. Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, telah menjadi korban dari proses hukum yang dinilai cacat. 

Dalam eksaminasi yang dilakukan oleh Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), para ahli sepakat bahwa Maming seharusnya tidak dijebloskan ke penjara. 

Pakar hukum dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia mengungkapkan bahwa vonis terhadap Maming sepenuhnya tidak beralasan dan penuh dengan kekeliruan fatal.

Mereka dengan tegas mengungkapkan bahwa kasus ini dibangun di atas asumsi dan dugaan semata, tanpa ada bukti nyata yang dapat mendukung tuduhan tersebut.

Prof. Romli Atmasasmita: "Putusan Hakim Dibangun di Atas Imajinasi, Bukan Bukti".

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., L.L.M. menilai bahwa vonis terhadap Maming adalah contoh nyata bagaimana sistem peradilan di Indonesia dapat salah kaprah. Menurutnya, tidak ada bukti yang jelas dan kuat yang mendukung tuduhan bahwa Maming menerima suap.

"Putusan ini sepenuhnya dibangun di atas imajinasi jaksa dan hakim. Tidak ada bukti konkret yang bisa menunjukkan bahwa Maming bersalah. Ini adalah contoh klasik dari kelalaian hukum yang harus segera diperbaiki," ujar Romli.

Romli juga mengkritisi penerapan Pasal 18 UU Tipikor yang diterapkan secara keliru. Jika tidak ada kerugian negara yang terbukti, maka harta yang dianggap sebagai hasil suap harusnya dikembalikan kepada pemberi, bukan disita oleh negara.

Prof. Yos Johan Utama: "Tidak Ada Bukti Kerugian Negara, Mengapa Maming Harus Dipenjara?"

Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., seorang Guru Besar Hukum, menyoroti bahwa tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa negara mengalami kerugian dalam kasus ini. Tanpa adanya bukti kerugian negara, tuduhan korupsi yang diarahkan kepada Maming tidak lebih dari spekulasi semata.

"Tidak ada satu bukti pun yang menunjukkan kerugian negara. Jika tidak ada kerugian, untuk apa Maming harus dipenjara? Ini bukan kasus korupsi, tetapi lebih kepada permainan politik yang menjebak Maming," tegas Yos.

Yos juga memperingatkan bahwa penegakan hukum harus berpegang pada asas keadilan, bukan pada agenda tersembunyi. Kasus Maming, menurutnya, adalah contoh nyata dari bagaimana hukum dapat disalahgunakan untuk menghukum orang tanpa dasar yang jelas.

Prof. Topo Santoso: "Pengalihan IUP yang Dilakukan Maming Sah dan Sesuai Prosedur"

Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., seorang ahli hukum pidana, menjelaskan bahwa tindakan Maming dalam pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sepenuhnya sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Menurut Topo, tidak ada pelanggaran hukum dalam pengalihan IUP tersebut.

"Pengalihan IUP yang dilakukan oleh Maming sepenuhnya sesuai prosedur. Semua syarat administratif telah dipenuhi dan tidak ada masalah hukum yang melekat pada izin tersebut. Ini adalah tindakan yang sah secara hukum, dan tuduhan bahwa ini adalah bentuk suap tidak berdasar," jelas Topo.

Jaksa yang mencoba membangun narasi tentang 'kesepakatan diam-diam' antara pemberi dan penerima suap jelas-jelas melenceng dari prinsip hukum. Topo menegaskan bahwa dalam hukum pidana tidak dikenal istilah "kesepakatan diam-diam", dan ini menunjukkan bahwa jaksa tidak memiliki bukti yang cukup untuk menjerat Maming.

Dakwaan Dibangun di Atas Asumsi, Bukan Fakta: Hakim Gagal Menegakkan Keadilan

Para pakar hukum dalam eksaminasi ini sepakat bahwa dakwaan terhadap Mardani H. Maming dibangun di atas asumsi yang lemah dan tidak didukung oleh bukti yang sah. Jaksa tidak mampu menghadirkan bukti nyata bahwa Maming menerima suap atau melakukan korupsi, tetapi tetap memaksakan dakwaan.

Lebih parah lagi, jaksa dan hakim tampaknya tidak mempertimbangkan bukti-bukti kuat yang justru mendukung Maming. Mereka hanya mengandalkan narasi yang tidak didukung oleh fakta di lapangan.

"Tidak ada bukti bahwa ada kesepakatan antara Maming dan pihak pemberi suap. Kasus ini adalah murni rekayasa hukum yang dipaksakan. Jika hukum bekerja seperti ini, siapa pun bisa menjadi korban ketidakadilan," kata Prof. Romli.

Kekeliruan Hakim dan Penerapan Hukum yang Salah: Maming Harus Dibebaskan

Putusan kasasi dalam kasus Maming mengandung kekeliruan fatal yang memenuhi syarat untuk dilakukan Peninjauan Kembali (PK). Para pakar hukum menegaskan bahwa putusan ini merupakan bentuk nyata dari kekhilafan hakim yang tidak seharusnya terjadi di negara hukum.

"Hakim dalam kasus ini jelas-jelas melakukan kekeliruan. Penerapan hukum yang salah ini harus segera diperbaiki melalui Peninjauan Kembali. Mardani Maming tidak layak dipenjara, dan dia harus segera dibebaskan," tegas Prof. Yos Johan Utama.

Mardani Maming Adalah Korban, Bukan Pelaku

Setelah melalui kajian mendalam, Mardani H. Maming tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Tuduhan terhadapnya hanyalah hasil dari konstruksi hukum yang cacat dan didasarkan pada asumsi, bukan bukti. Vonis yang dijatuhkan terhadap Maming adalah bentuk ketidakadilan yang nyata dan harus segera dikoreksi melalui mekanisme hukum yang tersedia.

"Maming adalah korban dari ketidakadilan sistem hukum yang rusak. Dia tidak bersalah, dan hukum harus ditegakkan untuk membebaskannya dari tuduhan palsu ini," pungkas Prof. Romli.

Dengan demikian, Mardani Maming harus segera dibebaskan dan diberikan keadilan yang pantas. Penegakan hukum yang tidak berdasarkan bukti harus dihentikan agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang. (*)


Berita Terkait



add images