Oleh : Dr. Nuraida Fitri Habi, S.Ag, M.Ag
Banyak pertanyaan yang menjadi diskursus tentang keberadaan lembaga penyelenggara pemilu pasca pilkada serentak 27 November 2024 kemarin. Sebuah pertanyaan yang lahir dari keserentakan pilkada dan fase libur yang terlalu lama jelang perhelatan pemilu dan pilkada di 2029 nanti.
KPU, misalnya, dipandang hanya efektif bekerja selama dua tahun masa pemilu dan pilkada serentak. Tiga tahun sisanya, KPU cuma mengisi agenda dengan konsolidasi, bimbingan teknis (bimtek) maupun konsultasi yang dinilai makan anggaran.
Adapun KPU dan Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, relatif kurang memiliki agenda setelah penyelenggaraan pemilu serentak selesai.
Wacana mengubah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga ad hoc dengan masa kerja dua tahun, mengemuka di DPR. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI beralasan usulan ini dilontarkan agar kerja KPU lebih efektif dan tidak memakan anggaran negara.
Agenda mengevaluasi penyelenggara pemilu menjadi salah satu persoalan yang didorong agar dibahas dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebelum merambah kemana - mana seperti kajian efektivitas dan efisiensi lembaga penyelenggara pemilu. Saya berpendapat, eksistensi lembaga penyelenggara pemilu pasca pemilu dan pilkada di Indonesia masih diperlukan untuk menjaga proses demokrasi yang berkelanjutan.
Dalam UU NO 17 Tahun 2017 dijelaskan bahwa lembaga penyelenggara pemilu menyelenggarakan Pemilihan umum atau pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Prov, Kab/ Kota, hingga Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam UU tersebut dijelaskan
terdapat 3 lembaga Penyelenggara Pemilu dan tupoksinya diantaranya Komisi Pemilihan Umum ( KPU ), Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ( DKPP ).
Sebenarnya Pasca Pemilu dan Pilkada, baik KPU dan Bawaslu harus mampu melakukan beberapa hal, pertama, tentang evaluasi proses, menganalisis keberhasilan dan kegagalan proses pemilu dan pilkada untuk perbaikan di masa depan. Ke dua, Pengembangan Sistem, mengembangkan sistem pemilu yang lebih baik dan efektif. serta ketiga, tentang Pendidikan Pemilih, meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.
Pemilu di Indonesia melibatkan infrastruktur yang kompleks. Termasuk teknologi informasi yang digunakan dalam pemutakhiran data pemilih dan rekapitulasi suara. Sebagai lembaga permanen, KPU idealnya akan memiliki waktu cukup untuk mengembangkan, menguji, dan memperbaiki sistem pemilu ini.
Lalu, ada usul KPU dan Bawaslu sebaiknya menjadi lembaga ad hoc. Karena dinilai akan jadi lebih efektif dan tidak menghabiskan anggaran jika menjadi lembaga ad hoc dengan masa jabat selama dua tahun.
Namun, hal ini butuh kajian yang mendalam, karena bila KPU dan Bawaslu dijadikan lembaga ad hoc, maka jajarannya akan diisi anggota baru setiap periode. Hal ini berpotensi menimbulkan berkurangnya pengalaman dan pengetahuan kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu profesional dan minim konflik.
KPU dan Bawaslu sebagai lembaga independen definitif, memiliki kesempatan untuk menjaga kesinambungan kebijakan dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu secara berkelanjutan. KPU dan Bawaslu dirancang bersifat independen dan tidak dipengaruhi konstelasi politik jangka pendek.
Jika KPU dan Bawaslu dibentuk menjadi lembaga ad hoc, ada risiko penyelenggara pemilu bisa diganti sesuai kondisi politik tertentu. Hal ini berpotensi mengurangi independensi serta meningkatkan potensi politisasi penyelenggara pemilu.
Proses ini membuka peluang terjadinya politisasi dalam pemilihan anggota KPU. Pasalnya, DPR sebagai lembaga politik berpotensi mendahulukan kepentingan parpol/fraksi tertentu dalam proses seleksi. Padahal, fondasi utama KPU adalah independensi sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
Menurut hemat saya, ketimbang mempersoalkan eksistensi KPU, akan lebih baik jika pemerintah dan DPR menata ulang jadwal pemilu.
Berkaca penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024, beban kerja KPU dan Bawaslu menumpuk lantaran pemilu nasional dan lokal digelar berbarengan.
Oleh karena itu,saya lebih sepakat mengubah dan merekonstruksi ulang penataan jadwal itu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Karena, ternyata nyaris tak ada negara demokrasi di dunia, yang menserentakan pemilunya seperti Indonesia saat ini, padahal eksistensi pembelajaran demokrasi adalah hal yang harus terus menerus, melalui pemilu sela seperti dulu.
Sebagai tambahan, Perludem, telah menawarkan agar pemilu dilakukan dua gelombang. Pemilu nasional yang terdiri dari pilpres, pileg DPR RI dan DPD RI diselenggarakan secara terpisah dengan pemilu lokal yang terdiri dari pilkada dan pileg DPRD.
Penataan penjadwalan itu jauh lebih tepat dan jauh lebih baik untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia agar pelaksanaan pemilunya bisa lebih tertib dan lebih profesional dan lebih efisien. Artinya KPU dan Bawaslu harus dipertahankan sebagai lembaga permanen jika pemilu nasional dan lokal dipisah.
* Dosen Fakultas Syariah UIN STS Jambi dan Koordinator Jaringan Demokrasi (JaDI) Provinsi Jambi.