Infrastruktur Energi atau Relokasi Masalah?
Narasi bahwa TUKS akan menyelesaikan masalah lalu lintas angkutan batu bara hanyalah bentuk relokasi beban konflik. Debu batu bara, suara bising, limbah kimia, serta gangguan air dan udara akan tetap muncul—hanya berpindah dari jalan raya ke permukiman padat dan kawasan yang seharusnya menjadi paru-paru kota.
Teori “Urban Metabolism” (Kennedy et al., 2007) mengajarkan bahwa kota adalah sistem terbuka. Bila satu subsistem, seperti zona resapan, terganggu oleh aktivitas industrialisasi ekstraktif, maka efek domino akan menghantam sektor lain seperti kesehatan, air bersih, dan pangan lokal.
Di Muara Enim, Sumsel, warga sekitar stockpile batu bara mengalami peningkatan ISPA sebesar 41% dalam dua tahun setelah stockpile beroperasi (Yayasan PELANGI, 2020).
Sinergi Pangan-Energi Bukan Zero-Sum Game
Integrasi antara sektor energi dan ketahanan pangan memang penting. Namun, integrasi tidak boleh dimaknai sebagai kompetisi. Sinergi sejati hanya mungkin terwujud jika dibangun dalam kerangka keberlanjutan dan partisipasi, bukan dalam semangat saling mendahului dan saling mengorbankan.
Prinsip One Health dari WHO dan FAO menekankan bahwa kesehatan manusia, lingkungan, dan sistem pangan adalah satu kesatuan. Bila salah satunya terganggu, seluruh sistem menjadi rapuh.
Ruang Adalah Nafas Kehidupan
Pembangunan sejati bukan sekadar menumpuk beton dan logistik, tetapi menata masa depan dengan nurani. Setiap proyek yang menyentuh ruang hidup masyarakat harus menjawab satu pertanyaan mendasar: Apakah ia memperkuat keadilan ekologis, atau justru memperlebar jurang ketimpangan dan kerusakan?
TUKS di Aur Kenali, sekilas mungkin tampak remeh dalam angka dan hektar, namun ia mencerminkan krisis tata kelola ruang yang semakin menjauh dari prinsip keberlanjutan dan partisipasi publik. Ruang hidup bukanlah halaman kosong untuk investasi, melainkan simpul kehidupan—tempat ekosistem, identitas lokal, dan hak generasi mendatang bertaut erat.
Kita membutuhkan keberanian kolektif; untuk meninjau ulang kebijakan ruang yang eksploitatif, memperkuat transparansi dalam setiap izin, serta mengarusutamakan partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan. Karena ruang adalah nafas kehidupan. Menjaga ruang, sejatinya adalah menjaga hak untuk hidup secara bermartabat—hari ini, esok, dan untuk selamanya. (MT)
Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah , Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Referensi Kunci:
• UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
• UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
• Soja, E. (2010). Seeking Spatial Justice. University of Minnesota Press.
• Forman, R.T. & Godron, M. (1986). Landscape Ecology. Wiley.
• Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.
• Kennedy, C. et al. (2007). Urban Metabolism Studies in Cities. Journal of Environmental Planning.
• LBH Bengkulu. (2021). Kajian Hukum AMDAL PLTU Teluk Sepang.
• WALHI Sumsel (2022). Laporan Dampak Alih Fungsi Lahan di Palembang.
• Hadi, S. (2019). Ketahanan Pangan dan Fragmentasi Ruang Hijau Kota. Jurnal Ketahanan Nasional UGM.
• Yayasan Pelangi. (2020). Dampak Stockpile Batu Bara terhadap Kesehatan Warga Muara Enim.
