Memanggungkan naskah monolog dapat dikatakan sebagai puncak ujian terhadap seorang aktor. Jika pada naskah-naskah dialog performa aktor dapat dibantu bahkan kelemahannya ditutupi oleh lawan main, pementasan monolog sepenuhnya tanggung jawab sang aktor.
Jika umumnya ritme, ruang panggung, berikut properti menjadi “tanggung jawab” bersama, pementasan monolog telah membebankan “tanggung jawab” itu kepada satu aktor. Ini merupakan argumentasi sederhana perbedaan tantangan pementasan naskah bagi seorang aktor.
Argumentasi tersebut tidak lantas menjadikan naskah monolog sebagai momok bagi para aktor. Wisran Hadi, pendiri Bumi Teater, pernah menyebutkan bahwa setiap orang bisa bermain drama. Maksudnya, jangankan aktor yang telah bersinggungan dengan dunia peran, orang awam pun sebenarnya telah memerankan lakon-lakon tertentu dalam interaksi sosialnya.
Setidaknya-tidaknya setiap orang telah mengimplementasikan kesadaran ruang, waktu, dan tempat dalam praktik perannya. Perbedaannya, jika orang kebanyakan cenderung bertindak “menjadi”, seorang aktor bertindak berdasarkan metode “memerankan atau berperan menjadi”.
Hal inilah yang diungkapkan oleh Stanislavsky tentang perlunya persiapan bagi seorang aktor. Perlunya persiapan menunjukkan bahwa ada kerja yang harus disadari oleh seorang aktor sebelum ia memilih peran maupun karakter tertentu. Selanjutnya, kerja dari sang aktor akan dapat dilihat dari pementasan yang dilakukannya.
Inilah kemudian yang dibuktikan oleh empat orang aktor Teater AiR Jambi pada Jumat dan Sabtu, 7 dan 8 Februari 2014 kemarin di Teater Arena Taman Budaya Jambi. Keempat aktor muda Jambi ini telah membuktikan bahwa mereka bukanlah aktor yang hanya mampu berperan pada naskah-naskah dialog. Paling tidak, mereka telah berani merasakan pengalaman beban bermonolog.
Pipit Indah Permata, Randa Gusmora, Oki Akbar, dan Sean Popo Hardi secara estafet bermonolog dengan peran yang berbeda. Prodo Imitatio berkisah tentang penipuan dalam pendidikan, Topeng-Topeng mengisahkan penipuan dalam berperilaku, Lagu Pak Tua mengisahkan penipuan terhadap diri sendiri, dan Demokrasi berkisah tentang penipuan terhadap ideologi.
--batas--
Empat naskah tersebut secara substansi bercerita tentang realitas masa kini yang telah dilingkupi oleh asap tebal kemunafikan. Hal ini sesungguhnya adalah ironi dari peradaban yang kabarnya dihuni oleh orang-orang yang terpelajar! Ide garapan ini merupakan daya tarik utama untuk menikmati pementasan. Berikutnya, proses pementasan yang dilakukan secara estafet juga menjadi tantangan yang menggoda untuk diikuti karena hal ini berkonsekuensi pada kesigapan setiap kru.
Adalah kejelian yang pertama sekali terlihat ketika usai menikmati keempat pementasan ini. Pengaturan urutan tampil menjadi bagian tersendiri dari sukses pementasan ini.
Hal ini karena tiga naskah cenderung beralur antiklimaks sehingga akan sulit mengikat ingatan penonton. Kepiawaian mengatur urutan tampil inilah yang membuat pementasan tersebut dapat dikatakan beralur klimaks jika tiap-tiap monolog diasumsikan sebagai sekuel dari memetik kemunafikan. Kedisiplinan aktor dalam berperan juga patut diacungi jempol. Pemanfaatan waktu dapat dikatakan efisien dalam setiap pementasan. Hal ini tentu juga didukung oleh kerjasama kru yang profesional.
Teknik panggung merupakan hal terasa perlu mendapatkan evaluasi. Hal ini memang lazim dalam dunia pertunjukan. Hal-hal yang bersifat teknis umumnya sering mendapat catatan dalam evaluasi pementasan. Pada keempat pementasan ini, unsur teknis yang pertama terlihat adalah pemanfaatan properti.
Barangkali ini merupakan konsekuensi dari pementasan estafet dalam satu panggung. Properti sulit untuk dibongkar pasang karena alasan waktu. Akan tetapi, konsekuensi ini mestinya tidak lantas menjadi pembenaran terhadap adanya properti yang dianggurkan. Bagaimanapun, penonton umumnya hanya memahami bahwa apa pun yang berada di panggung adalah atribut pementasan. Itu tentunya harga mati. Di sinilah tuntutan kejelian improvisasi aktor.
Hal teknis berikutnya adalah pemanfaatan ruang panggung yang masih terasa kurang maksimal. Ini tentu tantangan tersendiri bagi pementasan monolog. Pemanfaatan panggung yang biasanya digunakan untuk naskah dialog atau grouping tentu menyulitkan pementasan monolog. Akan tetapi, hal ini tentu dapat diatasi dengan blocking ataupun penataan properti. Paling tidak penegasan ruang panggung merupakan upaya paling sederhana yang dapat dilakukan.
Berikutnya adalah irama permainan yang terasa terburu-buru. Pementasan Lagu Pak Tua merupakan contoh dari kasus ini. Seharusnya, lakon Pak Tua dapat lebih memaksimalkan peran orang tua yang identik dengan lambat ditambah lagi dengan ironi hidup yang dituturkannya.
Kasus irama pementasan juga menghinggapi pementasan sebelumnya, yaitu Topeng-Topeng. Secara konsep, naskah ini memang berat. Jamak aktor yang sulit memerankan lakon Semar dan Waska secara bersamaan. Dapat dikatakan, pemeranan dualisme Semar dan Waska memang menuntut kerja ekstra keras. Pada monolog Topeng-Topeng, selain dualisme semar dan Waska juga hadir karater perantara yang mirip dalang atau janang.
Hal ini pun membuat aktor harus mampu menghadirkan tiga karakter sekaligus. Pencitraan karakter terlihat sedikit lemah pada gestur. Barangkali hal ini imbas dari kasus terburu-buru tadi sehingga gestur tidak tereksplorasi secara maksimal.
Secara umum, dapat disebutkan bahwa pementasan monolog ini berhasil. reaksi penonton yang ikut mengomentari dan memberikan umpan balik aktor dapat dijadikan sebagai satu alasan. Selain itu, animo penonton yang cukup bagus terlihat dari penuhnya kursi penonton selama pementasan hingga selesai. Ini merupakan indikator bagi apresiasi positif pementasan ini. Akhirnya, selamat melanjutkan eksplorasi kepada para aktor dan Teater AiR. Jambi menunggu!