Dua saksi ahli meringankan yang dihadirkan di Pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor) Jambi dalam kasus dugaan korupsi dana Kwartir Daerah (Kwarda) Pramuka Jambi periode 2009-2011. Dihadapanmajelis hakim, mereka mengatakan, bahwa lahan kwarda bukan merupakan aset milik Pemerintah daerah.
Dua orang saksi yang meringankan yang dihadirkan adalah Prof Dr Sudrajad Kuncoro yang merupakan Ahli Keuangan Negara dan Daerah dari FE UGM dan Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Jambi, Husein Ilyas.
Sudrajad mengatakan, bahwa dalam Undang-undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak menyebutkan soal Pramuka di dalamnya. “Kwarda Pramuka itu bukan lingkup keuangaan negara,” katanya.
Alasan lain diungkapkan ahli, selama ini dana hasil sawit tidak pernah diperiksa pihak inspektorat maupun BPKP. Dana untuk merawat dari pemerintah pun tidak ada, yang artinya lahan kwarda itu tidak masuk aset milik daerah.
Pihak inspektorat sendiri, menurut dia hanya bisa melakukan audit internal saja. “Kalau ada aliran dana bantuan APBN APBD baru diperiksa, tapi di sini tidak ada” terangnya.
”Dalam kasus ini tidak ada aliran dana atau apa saja dari APBD. Saya tegaskan inspektorat BPKP melampaui kewenangannya,” ujar Sudrajad.
Dalam penjelasan, Lembaga Pemeriksa Keuangan (LPK) lah yang berhak untuk menghitung keuangan kwarda. Sementara tentang pertanggungjawaban kwarda, disebutkan bahwa hanya dilakukan kepada musyawarah daerah (musda) kwartir daerah. Dan pihak yang berhak wewenang menentukan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kemudian untuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat adalah auditor internal Pemda saja.
Husein Ilyas, Ahli hukum administrasi negara dari Universitas Jambi, juga memberikan keterangan dalam sidang. Menurut dia, organisasi Pramuka sifatnya mandiri, sukarela, non politik, dan tidak underbouw pemerintah. Soal perijinan lahan, disebutkan seharusnya yang mengurus adalah pihak yang melakukan usaha, yaitu PT Inti Indosawit Subur.
Keterangan lain soal pemeriksaan keuangan disebutkan dia, BPKP atau inspektorat tidak memiliki kewenangan memeriksa keuangan kwarda.
--batas--
Setelah mendengarkan keterangan dua saksi Ahli, Majelis Hakim yang diketuai Eliwarti langsung melanjutkan persidangan untuk memeriksa terdakwa, namun AM Firdaus mengaku belum siap lantaran sakit.
Sekda Provinsi Jambi, AM Firdaus mengajukan permintaan penundaan pemeriksaan terdakwa. Permohonan Itu sempat menjadi pertanyaan Majelis Hakim Tipikor Jambi yang diketuai Eliwarti.
Hakim mempertanyakan lantaran pada awal sidang, terdakwa menyatakan diri dalam kondisi sehat, tapi mengapa kemudian di tengah-tengah sidang mengatakan sakit. AM beralasan dia siap untuk mendengar keterangan ahli, namun untuk pemeriksaan terdakwa belum. ”Terdakwa mengajukan permohonan tidak sanggup sidang hari ini. Perkara ini kita buka lagi Kamis (13/2) untuk agenda mendengarkan keterangan terdakwa,” ujar Eliwarti, Senin (10/2).
Sedangkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi, kembali memeriksa satu orang saksi untuk dimintai keterangan dalam kasus Kwartir Daerah (Kwarda) Jambi pada periode 2011-2013 dan Perkemahan Putri Nasional (Perkempinas) yang digelar di Bumi Perkemahan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, tahun 2012, yang tersangka Syahrasaddin dan kawan-kawan.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus), Kejati Jambi, Masyroby, mengatakan bahwa ada satu orang saksi yang dipanggil penyidik untuk dimintai keterangan terkait kasus kwarda jilid II dan Perkempinas. ”Hari ini 10/2 (kemarin red) cuma satu orang saksi yang dipanggil yaitu Budiono untuk dimintai keterangan terkait kasus Kwarda Pramuka Jambi dan Perkempinas,” ujar Masyroby kepada sejumlah wartawan, Senin (10/2).
Untuk diketahui, Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi, sudah memeriksa beberapa saksi dari pejabat Provinsi Jambi untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan penyimpangan dana Kwartir Daerah (Kwarda) Pramuka Jambi periode 2011-2013 dan Bumi Perkemahan Putri Nasional (Perkempinas) tahun 2012, untuk tersangka Ketua Kwarda Pramuka Jambi, Syahrasaddin, periode 2011-2013.
Beberapa pejabat yang sudah dimintai keterangan adalah Mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, Erwan Malik, Mantan Kepala Biro Humas dan Protokol Provinsi Jambi, Asvan Deswan Asisten II Gubernur Hafis Husaini, Mantan Asisten III Gubernur, M Rawi, Kepala Inspektorat, Ridham Priskap dan Pahmizal.
Sementara itu, Prof Dr Sukamto Satoto SH MH, menyatakan bahwa kasus Kasus Kwarda Pramuka tidak bisa dinyatakan dalam bentuk Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan mengatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berhak untuk menentukan kerugian negara.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi ini menyatakan bahwa dirinya tidak sependapat dengan penegak hukum pidana yang mengambil kerugian negara berdasarkan audit yang dilakukan oleh BPKP. Karena menurut peraturan hukum, dijelaskan pada peraturan presiden tahun 2001 mengenai pembentukan BPKP semua hasil audit diserahkan kepada presiden. Sedangkan Undang-undang nomor 15 tentang BPK jelas mengatur bahwa yang menetapkan kerugian negara adalah BPK.
“Yang saya kritik adalah mengapa penyidik selalu menggunakan hasil audit dari BPKP, bukan BPK, yang lebih tinggi kan BPK yang berlandaskan Undang-undang yang termuat dalam no 12 tahun 2011,” ujar Sukamto Satoto kepada sejumlah wartawan.
Dia juga menyatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak mau mengaudit, dikarenakan dalam kasus ini tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. “BPK tidak pernah memeriksa dan mengaudit, apalagi menentukan kerugian negara, karena itu bukan merupakan uang negara,” ungkapnya.
Dalam hal ini, yang juga menjadi permasalahan adalah soal lahan kebun sawit yang dikelola oleh pihak Kwarda Pramuka Jambi dengan bekerja sama dengan PT Inti Indosawit Subur (IIS) tidak memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU). Prof Dr Sukamto Satoto, menyatakan bahwa hal tersebut merupakan adalah hibah yang diberikan kepada pihak Kwarda artinya boleh untuk dikelola.
Kemudian, soal izin adalah kewenangan dari Badan Pertahanan Nasional (BPN). “Bekerja sama dengan perusahaan, berarti pihak pramuka telah merawat dan mengurus hal itu. Dan kepemilikan tanah tidak hanya dilihat dari sertifikat, tetapi sebelumnya telah ada dilakukan serah terima lahan,” Katanya.
Dalam kasus Syahrasaddin ini ada bantuan dana dari Pemerintah Provinsi untuk Perkempinas yang diketahui diambil dari APBD senilai Rp 5,4 miliar. Dikatakan oleh Sukamto, bahwa hal ini yang harus diaudit oleh BPK, bukan BPKP. “Ini yang mempunyai kewenangan adalah BPK,” pungkasnya.
sumber: jambi ekspres