iklan
Syarat pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014 dinilai sangat diskriminatif terhadap para penyandang cacat atau difabel. Sebab, dalam website resmi SNMPTN secara jelas disebutkan bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, dan tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian.

Melihat hal ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah ini terang-terangan telah mendiskriminasi penyandang difabel untuk memperoleh hak pendidikan di Perguruan Tinggi. Selain itu, pemrintah juga telah melanggar hak konstitusional warga negara dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU Sisdiknas 2002.

Padahal, menurut Sekjen FSGI Retno Listyarti, banyak dari para difabel ini yang memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan memiliki kesehatan mental yang normal. Namun sayangnya, pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan justru dengan sengaja menghianti amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menutup akses pendidikan.

"Itu sama artinya pemerintah tidak mampu mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan kaum difabel, dan dengan sengaja berlaku diskriminatif. Ini jelas melukai konsep dan harga diri mereka sebagai anak manusia yang tidak beruntung," ujar Retno saat dihubungi Senin (10/3).

Tak hanya itu, kata dia, peraturan tersebut juga berpotensi untuk membuat para penyandang difabel menyalahkan nasib dan takdir yang mereka miliki. Oleh kerana itu, ia mendesak pemerintah untuk segera menghentikan seluruh kebijakan diskriminatif bagi penyandang difabel dalam pelaksanaan SNMPTN 2014. "Pemerintah harus bertanggung jawab membuka pemerataan pelayanan pendidikan yang adil bagi setiap warga negara dalam memperoleh pelayanan pendidikan," tandasnya.
--batas--
Sementara itu, saat dikonfirmasi terkiat peraturan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh menekankan hal itu bukan merupakan tindak diskriminasi. Persyaratan tersebut merupakan kebutuhan yang memang harus dipenuhi dari jurusan-jurusan tertentu yang ada di perguruan tinggi.

"Kita harus realistis. Misalnya, jurusan elektro tidak boleh buta warna. Itu bukan diskriminasi. Kalau dia tidak bisa membedakan warna merah ungu dan seterusnya, sementara resistor ada kode warna malah bisa mencelakakan. Bukan diskriminasi tapi bidang itu memang butuh," ujar Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu Senin (10/3). Namun, lanjut dia, ada juga beberapa jurusan yang bisa diikuti oleh para difabel. Misalnya sastra, mereka bisa mengekspresikan bentuk suara dalam tulisan.

Nuh mengatakan, ketentuan itu tergantung dari peraturan perguruan tinggi masing-masing. Sebab tidak semua perguruan tinggi memiliki fasilitas untuk para difabel terutama fasilitas pengajar. "Kalau dosen ada yang tidak bisa menjelaskan kan bagaimana" Perguruan Tinggi juga tidak mampu sediakan pengajarnya. Tapi itu bisa dialihkan ke kampus lain yang siap, Unair atau Barwijaya misalnya," ungkapnya.

Diakuinya, peraturan ini memang sudah sejak lama dijadikan persyaratan untuk SNMPTN. Meski dirasa sebagai tindak pelarangan, Nuh menegaskan bahwa persyaratan itu memang harus dilakukan terkait dengan profesi ke depan dari jurusan yang akan ditempuh. "Percuma kalau mendaftar tapi tidak bisa diterima. Detilnya tanya ke SNMPTN. Persyaratan terkait keterbatasan karena profesi memang perlu seperti itu. Tapi kalau umum tidak boleh pembatasan," tuturnya.

Sementara itu, mengenai somasi yang akan diajukan beberapa organasisi peduli pendidikan, Nuh mempersilahkan hal itu untuk dilakukan. "Somasi hak tiap orang, silakan saja. Tapi kita tidak ada niat diskriminasi," tutupnya.

sumber: jambi ekspres

Berita Terkait



add images