iklan

UNICEF (1989), dalam laporan resminya yang diberi tajuk The State of the World’s Children 1989, memberikan laporan bahwasanya pada tahun 1987, telah terjadi kematian sunyi balita sebanyak 14,7 Juta jiwa. Laporan yang memuat 116 halaman itu juga menyebutkan setidaknya terdapat 900 juta orang yang berada di kawasan (terutama) Amerika Latin, terancam bahaya serupa. Hampir di seluruh daratan Afrika dan banyak Negara Amerika Latin, rata-rata penda­patan turun 10 persen. Dalam kondisi yang sulit, mereka dipaksa keadaan untuk membayar utang dan bunganya yang mulai menumpuk. Laporan tersebut juga menggarisbawahi, anak-anaklah yang harus menanggung berat utang dan resesi. ‘it is children who are bearing the heaviest burden of debt and recession in the 1980s.’

Pertanyaan kemudian yang muncul dari lapo­ran tersebut di atas adalah apa korelasi terdekat antara beban membayar utang bagi negara beserta bunganya dengan kematian sunyi para balita ? hemat penulis, dengan pendekatan anali­sis yang cukup sederhana jawaban tersebut dapat kita kemukakan. Yakni, akibat beban utang yang terus bertambah akibat kenaikan bunga pinja­man yang dibebankan, maka arus pengembalian utang pun juga bertambah, yang sudah pasti akan mempengaruhi anggaran belanja negara di bidang kesehatan dan pendidikan serta lain­nya. Jika, anggaran kesehatan terpangkas besar, maka jaminan kesehatan balita pun juga menjadi menipis bahkan tiada.

Destructive (isme) bunga pada Negara Ketiga
Para ahli telah banyak yang melakukan pene­litian dan investigasi yang mendalam mengenai pengaruh dari suku bunga terhadap kinerja ekonomi dan moneter di sebuah Negara. IMF (2003: 105) dalam rilis The IMF and Recent Ac­count Crisis : Indonesia, Korea, Brazil. Washington DC, IMF mengakui suku bunga yang tinggi, tidak diragukan akan berpengaruh pada meningkatnya biaya ekonomi domestic, namun seberapa besar pengaruhnya sulit dihitung. Dalam rilis tersebut, sangat jelas jika suku bunga sangat merugikan system perekonomian Negara-negara berkem­bang dan bahkan juga Negara maju sekalipun akan merasakan dampak negative dari tingginya suku bunga.
 
Bahkan dalam penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Julian Giovanni dan Jay C Sham­baugh (2006:4) yang dipaparkan dalam kertas kerja dengan judul The Impact of Foreign Interest Rates on the Economy : The Role of the exchange Rate Regime memperlihatkan bahwasanya per­tumbuhan out put dari Negara-negara kecil ber­hubungan negative dengan tingkat suku bunga di Negara yang menjadi base country, terutama bagi Negara kecil yang memberlakukan rezim devisa tetap atau yang dikenal dengan fixed exchange rates. Dampak tersebut tertransmisikan melalui kebijakan moneter. Bila suku bunga di base country-nya mencapai 5 persen (500 basis poin), maka akan berdampak pada konsekuensinya bagi satu persen turunnya pertumbuhan ekonomi di Negara yang mem-peg mata uangnya dengan Negara base country – nya tersebut.

Bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah akibat dari Volatilitas (naik-turunnya) suku bunga juga ditengarai sebagai salah satu penyebab krisis perbankan. Hal ini dimungkinkan ketika Negara yang membuka kran liberalisasi keuangan, pelu­ang terjadinya krisis perbankan semakin terbuka lebar dengan tampak jarak dampak negative nya. Fakta tersebut menjadi semakin terbuka nyata ketika kondisi institusi dan regulasi dari otoritas moneter melemah yang berakhir dengan liber­alisasi keuangan membuka peluang terjadinya naik-turun suku bungan secara bebas. Keadaa inilah yang menyebabkan lembaga perbankan menjadi tidak stabil dan rawan terjadinya krisis yang memporak-porandakan system ekonomi dan keuangan Negara-negara berkembang dan Negara maju secara menyeluruh sebagaimana pernah terjadi liberalisasi suku bungan di Indo­nesia pada tahun 1983 – 1995 yang menyebabkan krisis perbankan pada tahun 1992 – 1994.
--batas--
Krisis ekonomi, keuangan yang berkepanjangan dan bahkan selama kurun waktu decade tera­khir. Negara-negara maju senantiasa mengalami syndrome keuangan global yang mematikan yang juga dirasakan dampaknya secara luas oleh Negara-negara berkembang. Lihat saja krisis global pada tahun 2008 yang mampu meruntuh­kan sendi-sendi ekonomi Negara adidaya sekelas Amerika Serikat.

Krisis Ekonomi Global (2008), sebuah Pela­jaran Akhir
Periode September 2008 barangkali akan senantiasa dikenang dan akan menjadi catatan sejarah yang akan dikaji secara berulang dan terus menerus menjadi topic hangat dalam membin­cang ekonomi, moneter, suku bunga dan krisis sebagai efek negative dari kebobrokan system bunga dalam moneter. Sebab, periode tersebut (September 2008) terkenang sebagai fragmentasi dari krisis keuangan global terburuk sepanjang sejarah di abad modern yang dikenal dengan the Great Depression pada era 1930 – an awal hingga akhir decade.
Krisis ekonomi Global yang sangat mengerikan tersebut, dimungkinkan sebagai krisis ekonomi yang terburuk sepanjang sejarah manusia ba­gaimana tidak. Lembaga keuangan papan atas dunis sekelas CityGroup, Bank of Amerika, Gold­man Schacht, Merrill Linch, Well Fargo, Fannie Mae dan seterusnya yang disinyalir memiliki asset triliunan dolar Amerika harus meniarapkan diri dalam hitungan yang sekejap.

Indikasi kebangkruan ekonomi sebagaimana dianalisis dalam USA Today pada 19 Maret 2008 oleh Waggoner dan Lynch adalah ketika Bear Stearns, bank investasi terbesar kelima di Negara Paman Sam tersebut yang sebagian besar bisnis­nya memiliki keterkaitan secara langsung dengan subprime mortgage, kemudian diakuisisi ole JP Morgan dengan harga yanga hanya 2 dolar AS per lembar sahamnya atau turun sampai den­gan 93 persen dari harga saham sebelumnya. Selanjutnya pada tanggal 7 September 2008, sebagaimana hasil laporan United Nations (2009) yang dipublikasikan dengan judul World Eco­nomic Situation and Prospect 2009. Pemerintah Amerika mengambil alih Fannies Mae, perusa­haaan pemberi kredit rumah dengan asset men­capai sampai dengan 64,8 Miliar Dolar AS pada tahun sebelumnya (2007). Akan tetapi akibat dari mayoritas pembiayaan pada subprime mortgage yang berujung default, pada tanggal 12 September 2008, total asetnya tinggal 0,7 Miliar Dolar AS. Begitu juga halnya dnegan kondisi Freddy Mac yang kapitalisasinya hanya menyisakan angka 0,3 Miliar dolar Per 12 September 2008. Bank Fannie Mae maupun Freddy Mac adalah lembaga yang memperoleh sponsor dari pemerintah, yang memgang portofolio pinjaman mortgagei sampai dengan 5 Triliun Dolar AS

Efek bola salju yang terjadi akibat krisis ekonomi oleh Amerika menyebabkan dampak yang cu­kup negative juga berpengaruh terhadap kondisi ekonomi Negara-negara berkembang dan Negara maju lainnya di dunia pada 2008 silam. Bahkan beberapa Negara-negara Eropa sampai dengan hari ini masih disibukkan dengan penyelematan ekonomi Negara agar tidak terjadi kebangkrutan dan krisis kemanusiaan bahkan akibat kesulitan ekonomi yang memuncak yang dialami oleh Negara-negara tersebut.

Kondisi yang sangat memprihatinkan ini mengundang banyak cendikiawan dunia untuk memberikan analisis yang panjang dan dalam dengan pendekatan perspektifnya masing-masing. Akan tetapi menurut penulis dari sekian banyak kalangan yang mengomentari dampak buruk dari system ekonomi dunia hari ini yang menggunakan system bunga adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh Vatikan.

Vatikan Mengajak pada Keuangan Syariah
L. Totaro dalam (2009) dalam Vatican Says Islamic Finance may help western banks in crisis menerangkan Koran resmi terbitan Vatican, Osservatore Romano, memuat artikel yang me­negaskan bahwa prinsip etika dimana keuangan Islam dibangun akan mendekatkan bank dengan nasabahnya dan semangat sejati (true spirit) kemanusiaan seharusnya menjadi penanda bagi setiap layanan keuangan. Hal yang senada juga diungkap dalam The Brussel Journal (2009), yang menyebutkan bahwasanya Vatican memberi contoh, Barat bisa menggunakan obligasi syariah (sukuk) sebagai jaminan. Selanjutnya dana dari sukuk tersebut bisa digunakan untuk membiayai industri otomotif atau bahkan untuk membiayai seven sekelas Olympic Games.

Anjuran dari Vatikan kepada dunia Barat dan juga barangkali dunia, sudah pasti lepas dan jauh dari simbol-simbol keislaman secara label hukum, dikarenakan tentunya sesuai dengan semangat kitab sucinya umat Nasrani sendiri yang memang melarang pembungaan utang (baca dalam Exodus 22:25; Leviticus 25 : 35 – 36), dan Deutronomy 23 : 19).

Institusi tertinggi dunia dalam agama Katolik tersebut sudah membaca betul kondisi ekonomi dan keuangan dunia yang tidak pernah stabil dan membahagiakan rakyatnya akibat dari system bunga yang berdampak menghancurkan tatanan perekonomian dunia selama ini. Sehingga men­geluarkan imbauan kepada Negara-negara Eropa untuk turut serta menerapkan system keuangan syariah [islam] di negaranya masing-masing. Im­bauan tersebut memiliki alas an yang jelas, yakni suku bunga yang tidak stabil cenderung merun­tuhkan stabilitas ekonomi dan keuangan Negara yang berakhir dengan terjadinya krisis ekonomi global lanjutan. Jika demikian kondisinya, kenapa kita tidak satu suara dalam upaya menerapkan system ekonomi dan keuangan syariah di dunia, sebagaimana imbauan dari vatikan ? dan krisis mana lagi yang kita dustakan ? wallahu a’lam.

Suwardi., SE. Sy adalah Wakil Direktur FiSTaC dan Anggota PELANTA

Sumber :  Jambi Ekspres


Berita Terkait



add images