FENOMENA Pileg 2014 sungguh menarik untuk dianalisis. Mengapa tidak ? Terkadang pasangan suami istri (seranjang, red) ada yang berbeda haluan politik.
Beberapa tokoh parpol banyak yang seperti itu. Misalnya, politisi Golkar Khalik Saleh. Istrinya, Irawati pada pileg 2014 mencalonkan diri dari partai Gerindra sebagai Caleg DPRD Provinsi Jambi, dapil Batanghari – Muarojambi. Demikian juga, Wakil Gubernur, Fahrori Umar. Dirinya merupakan tokoh Golkar, sementara istrinya dikabarkan mencalonkan diri dari partai Demokrat. Bupati Sarolangun, Cek Endra merupakan orang PAN. Sementara istrinya mencalonkan diri dari Partai Demokrat.
Pengamat politik, Sayuti Hamsi menyebutkan, munculnya banyak partai sejak era reformasi, selain euporia politik juga menunjukan kalau partai sebelumnya tak mampu mengakomodir semua kepentingan rakyat termasuk kepentingan kadernya sendiri. Kemudian arus demokrasi yang bertiup begitu kencang, membuka peluang bagi rakyat yang terakomodir kepentingan tadi ramai-ramai mendirikan partai.
‘’Pada umumnya pendiri partai baru tadi berasal dari aktifis dan simpatisan partai lama, dan partai membutuhkan pengurus, anggota dan pendukung. Nah atas dasar kebutuhan partai tadi maka tida heran bagi partai membuka seluas-luasnya bagi siapapun yang berminat untuk bergabung meramaikan partai, terlebih bagi orang yang berpengaruh dan berduit memang sangat dinanti kedatangannya,’’ tuturnya.
Hanya saja persoalannya, kata dosen IAIN ini, ketika sudah menjadi partisan, partai lupa atau mungkin terpikirkan lagi untuk membangun mental partisannya menjadi kader militant yang loyal partai. Sehingga kehadirannya di partai tidak merasa memiliki.
‘’Tingginya persaingan internal di partai, yang bersangkutan merasa kecewa dan eksodus ke partai lain yang lebih menjanjikan,’’ tukasnya.
Lantas bagaimana dengan pasangan suami istri calon partai ? Dikatakannya, persoalan calon yang suami istri dengan partai yang berbeda, bukan hal aneh lagi dalam kontek demokratisasi sekarang. Hanya saja soal boleh atau tidaknya sangat tergantung pada aturan main atau kode etik partai pengusung tadi.
‘’Realitas demikian sangat mungkin terjadi, apalagi sekarang pengajuan calon dari partai dituntut untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan, apalagi partai yang kekurangan perempuan bisa saja ambil kader luar partai,’’ tuturnya.
Sedang persoalan psikologis kekeluargaan antara keduanya, katanya, sangat bergantung pada kedewasaan bersangkutan dalam menempatkan diri sebagai politisi dan sebagai suami istri dalam rumah tangga. (sumber: jambi ekspres)
Beberapa tokoh parpol banyak yang seperti itu. Misalnya, politisi Golkar Khalik Saleh. Istrinya, Irawati pada pileg 2014 mencalonkan diri dari partai Gerindra sebagai Caleg DPRD Provinsi Jambi, dapil Batanghari – Muarojambi. Demikian juga, Wakil Gubernur, Fahrori Umar. Dirinya merupakan tokoh Golkar, sementara istrinya dikabarkan mencalonkan diri dari partai Demokrat. Bupati Sarolangun, Cek Endra merupakan orang PAN. Sementara istrinya mencalonkan diri dari Partai Demokrat.
Pengamat politik, Sayuti Hamsi menyebutkan, munculnya banyak partai sejak era reformasi, selain euporia politik juga menunjukan kalau partai sebelumnya tak mampu mengakomodir semua kepentingan rakyat termasuk kepentingan kadernya sendiri. Kemudian arus demokrasi yang bertiup begitu kencang, membuka peluang bagi rakyat yang terakomodir kepentingan tadi ramai-ramai mendirikan partai.
‘’Pada umumnya pendiri partai baru tadi berasal dari aktifis dan simpatisan partai lama, dan partai membutuhkan pengurus, anggota dan pendukung. Nah atas dasar kebutuhan partai tadi maka tida heran bagi partai membuka seluas-luasnya bagi siapapun yang berminat untuk bergabung meramaikan partai, terlebih bagi orang yang berpengaruh dan berduit memang sangat dinanti kedatangannya,’’ tuturnya.
Hanya saja persoalannya, kata dosen IAIN ini, ketika sudah menjadi partisan, partai lupa atau mungkin terpikirkan lagi untuk membangun mental partisannya menjadi kader militant yang loyal partai. Sehingga kehadirannya di partai tidak merasa memiliki.
‘’Tingginya persaingan internal di partai, yang bersangkutan merasa kecewa dan eksodus ke partai lain yang lebih menjanjikan,’’ tukasnya.
Lantas bagaimana dengan pasangan suami istri calon partai ? Dikatakannya, persoalan calon yang suami istri dengan partai yang berbeda, bukan hal aneh lagi dalam kontek demokratisasi sekarang. Hanya saja soal boleh atau tidaknya sangat tergantung pada aturan main atau kode etik partai pengusung tadi.
‘’Realitas demikian sangat mungkin terjadi, apalagi sekarang pengajuan calon dari partai dituntut untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan, apalagi partai yang kekurangan perempuan bisa saja ambil kader luar partai,’’ tuturnya.
Sedang persoalan psikologis kekeluargaan antara keduanya, katanya, sangat bergantung pada kedewasaan bersangkutan dalam menempatkan diri sebagai politisi dan sebagai suami istri dalam rumah tangga. (sumber: jambi ekspres)