iklan
Melihat peta kekuatan parpol di Jambi, dimana persentase suara sah koalisi parpol pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mencapai 47,62 persen atau 27 kursi di DPRD Provinsi Jambi.

Jumlah ini terdiri dari Gerindra 199.943 suara atau 11,42 persen dengan jatah 6 kursi diparlemen, PAN 170.646 suara atau 9,75 persen dengan 5 kursi, PKS 82.649 suara atau 4,72 persen dengan 3 kursi, PPP 92.198 suara atau 5,27 persen dengan 4 kursi, PBB 60.563 suara atau 3,46 persen dengan 1 kursi dan Golkar 227.665 suara atau 13,00 persen dengan 8 kursi.

Sedangkan untuk koalisi Jokowi-Jusuf Kalla di Jambi sebanyak 34,02 persen atau total 19 kursi yang terdiri dari PDIP 246.113 suara atau 14,06 persen dengan 7 kursi, PKB 126.106 suara atau 7,20 persen dengan 6 kursi, Hanura 122.695 suara atau 7,01 persen dengan 3 kursi dan NasDem 100.737 suara atau 5,75 persen dengan 3 kursi.

Namun menurut Pengamat Politik Jambi, Jafar Ahmad, perolehan suara partai pada Pileg ini belum tentu berbanding lurus dengan hasil Pilpres mendatang. “Ini tidak linier antara pemilih partai dengan pemilih orang. Jadi kalau kemarin itu yang dipilih tokoh yang ada dipartai kalau sekarang ini yang lebih dipilih sebenarnya tokoh presiden atau wakil presidennya,” ujarnya.

Tetapi dikatakannya, yang menentukan itu justru elit-elit partai yang ada ditingkat lokal. Misalnya gubernur, bupati/walikota atau tokoh-tokoh elit local lainnya.

“Jadi itu yang paling berpengaruh. Pengaruhnya akan dirasakan jika elit-elit ini memiliki keseriusan dalam menggerakkan jaringan-jaringannya untuk memilih presiden dan wakil presiden. Kalau tidak digerakkan tentu tidak akan berpengaruh,” katanya.

Ia mencontohkan, misalnya seberapa penting konstalasi presiden dengan pilihan dua pasang itu dengan kepala daerah misalnya, kalau bagi kepala daerah penting maka dia akan menggerakkan jaringan-jaringannya. Dan itupun berlaku ketingkat bawah.

“Kita tidak tahu nanti strategi partai seperti apa, apakah ini menjadi hitung-hitungan bagi partai. Misalnya, UU Pilkada itukan belum rampung di DPR RI, apakah dipilih langsung atau tidak. Itu bisa dijadikan alasan bagi partai untuk membangun konsolidasi ditingkat lokal. Partai yang tergabung di koalisi ini bisa memiliki tawaran kepada kepala daerah atau elit-elit daerah supaya lebih aktif dalam memenangkan capres-cawapresnya,” contohnya.
--batas--
Salah satunya seperti tawaran kepada kepala daerah melalui partai-partai menyatakan, bisa mengusulkan koalisi partai ditingkat daerah dari pusat. Nanti kalau Pilkada dengan dipilih dewan langsung, maka anda akan dipilih dan menang.

“Kira-kira begitu. Mestinya partai-partai ini bisa memanfaatkan kondisi UU Pilkada menjadi sebuah isu yang bisa dimainkan supaya para kepala daerah ini merasa penting untuk menggerakkan jaringan-jaringannya mendukung capres-cawapresnya,” imbuhnya.

Jadi kalau ditanya partai ini berpengaruh atau tidak, tentu ada pengaruhnya tetapi tidak signifikan. Pengaruhnya tergantung bagaimana elit-elit local menggerakkan jaringannya.
Untuk struktur partai ke bawah, itu tergantung seberapa penting bagi mereka untuk keberlangsungan mereka. Tidak bisa terlalu berharap orang-orang partai bisa serius dalam Pilres ini, tetapi efek positifnya tidak ada terhadap mereka.

“Kecuali kalau mereka itu merasa penting, atau mesin parpol secara nasional itu dimainkan. Seperti Prabowo ini kalau saya lihat, relatif lebih besar sumber daya modal uangnya, ada Prabowo, Hatta dan ada ARB. Kalau modal keuangan itu dimaksimalkan untuk memainkan mesin partai itu bisa berjalan,” katanya.

Sedangkan untuk daerah pelosok, kalau mau main darat agak terlalu mahal biayanya untuk memperoleh suara dipelosok-pelosok. Daerah pelosok ini mungkin juga tidak terlalu dihitung untuk konstalasi ditingkat Pilpres.

“Biasanya akan maksimal bergerak di daerah yang merupakan lumbung suara, seperti di Kota. Kemudian baik lebih main strategi udara melalui iklan politik di TV, koran dan media masa lainnya serta spanduk-spanduk. Karena untuk door to door akan lebih sulit,” tandasnya.

Terpisah, Sayuti Una, Pengamat Politik Jambi lainnya menyatakan, Pilpres ini hampir sama dengan Pilkada. “Artinya partai itu tidak begitu dominan karena di Pileg itu orang memilih calon dan calonnya banyak. Kalau di Pilpres orang memilih calon tetapi calonnya sedikit,” ujarnya.

Seperti di Jambi dulu pernah PAN menang ditingkat local, tetapi ketika Pilpres waktu itu menang SBY yang notabenenya Demokrat. “Memang dalam sisi partai di kubu Prabowo itu banyak partai yang bergabung, tetapi untuk pusat biasanya sejauh mana informasi yang disampaikan oleh tim-tim itu kepada masyarakat tentang figur calon. Inilah yang menentukan, kalau pun banyak partainya tetapi mesin partai tidak berjalan dan calon juga tidak begitu dikenal susah juga,” katanya.

Jadi sebenar menurut Sayuti, belum bisa dikatakan dengan mesin partai yang banyak itu kandidat yang bersangkutan bisa menang di suatu daerah. “Tergantung figur, karena orang kan merasa tidak punya kepentingan dengan presiden, tidak merasakan langsung bagaimana Negara ini ke depan,” imbuhnya.

Untuk pelosok, ditambahkannya, itu banyak yang tidak sampai informasinya jadi struktur partai harus bekerja keras.

sumber: jambi ekspres

Berita Terkait



add images