iklan
Potensi kerugian negara akibat carut marut per­soalan perizinan dalam bidang kehutanan mencapai angka fantastis, yakni Rp 273 Triliun (T). Angka ini meningkat drastis dari potensi kerugian negara akibat perizinan dalam bidang kehutanan pada 2004 yang hanya berjumlah Rp 7 M.

Hal ini dikemukakan Wahyudi, Ketua Tim Riset dari Transpar­ansi Internasional Indonesia soal perizinan kehutanan di Grand Hotel, Kamis (22/5).

Diterangkannya, kontribusi sektor kehutanan dalam 10 tahun terakhir terhadap PDRB Nasional turun.

“Dari Rp. 1, 99 M pada 1999 menjadi Rp. 0, 7 M pada 2011. Sementara potensi kerugian negara yang pada 2004 hanya senilai Rp 7 M naik drastis pada 2013 mencapai Rp 273 T,” katan­ya. Dikatakannya, tingginya laju deforestasi menyebabkan tu­runnya sumbangan sektor kehu­tanan terhadap PDRB nasional. “Pemanfaatan kayu yang salah, illegal logging, perambahan dan sebagainya menyebabkan hal ini. Selain itu, berdasarkan riset juga ini disebabkan buruknya tata kelola sektor kehutanan,” katanya.

Menurutnya, tata kelola kehu­tanan di Indonesia pada umum­nya, sangat jauh dari prinsip tata kehutanan pemerintahan yang baik. Akibatnya dari tata kelola perizinan yang baik. “Riset kami 2009, di Riau, Aceh dan Papua, diketahui korupsinya mulai hulu hingga hilir dalam urusan perizinan ini,” ujarnya.

Bahkan, kata dia, ada 300 kepala Daerah, termasuk Bupati yang tersandung kasus peny­alahgunaan perizinan kehutan­an ini. Bahkan, ada juga bupati di pemerintahan tingkat II yang ikut bermain dalam pemberian perizinan sektor kehutanan ini.“Ada 300 bupati yang terlibat kasus korupsi terkait perizinan di sektor hutan. Ini jadi problem besar, karena lebih dari set­engah kepala daerah bermain dalam ini,” bebernya.

Dia menerangkan, untuk memperkecil risiko terjadinya korupsi dalam bidang perizinan, maka prosesnya harus efisien, transparan dan partisipatif. Di­jelaskannya, riset yang mereka lakukan ini merupakan bagian dari upaya mengevaluasi sistem perizinan online yang dibuat kemenhut.

“Jambi jadi contoh karena, secara reguler dalam 2 tahun diterbitkan indeks persepsi ko­rupsi dan dibandingkan dengan tingkat deforestasi, Jambi me­narik karena Jambi berpotensi namun cukup baik pengelolaan­nya,” terangnya.

Diterangkannya, tingkat ker­awanan korupsi dibagi 3, yakni risiko tinggi, sedang dan rendah. “Ada 8 tahapan perizinan yang dievaluasi dari proses pendaf­taran sampai pemberian SK, proses penerbitan untuk izin hutan tanaman industri sangat besar potensi korupsinya,” un­gkapnya.

Dikatakannya, dalam pengu­rusan izin pengelolaan hutan ini, memang ada risiko praktek suap menyuap. “Jadi kerugian negara itu didapatkan dari keru­gian yang dibayar pengusaha dikalikan resiko dan besaran jumlahnya itu yang menjadi kerugian. Prevalensi suap juga tinggi,” katanya.

Ditambahkannya, info dari pengusaha lazim membayar suap untuk menerbitkan izin ini. Lebih lanjut disebutkannya, praktek korupsi juga disebabkan kualitas birokrasi perizinan yang lemah. Transparansi juga lemah, perizinan sebagai pelayanan publik harus jelas SOP-nya. lalu akuntabilitas juga lemah, SOP dan SPM implementasinya dilapangan buruk. Lalu penega­kan hukum juga lemah karena kalau dilihat, banyak pengusaha yang tak cukup optimis untuk mengurangi praktek suap dalam perizinan usaha.

“Kepercayaan juga lemah karena SOP dan SPM juga tak diketahui pengusaha dan masyarakat. Selain itu, tata kelola perusahaan juga lemah karena tak melarang stafnya untuk tidak melakukan praktek suap,” tambahnya lagi.

Dikatakannya, soal perizinan adalah masalah penting dan berisiko dalam tindakan suap dan korupsi. “KPK sudah mem­berikan surat untuk mence­gah ini kepada semua daerah. Ini menjadi ranah untuk KPK masuk melakukan pengawasan. Tingkat kerawan, risikonya san­gat tinggi. Bisa saja sampai kepa­da penindakan nantinya,” tan­dasnya. Sementara itu, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia, Dadang Trisasongko mengatakan, tata kelola, tipolo­gi, ekonomi dan sosial dalam kehutanan harus jadi perhatian. “Perizinan juga adalah untuk memastikan kegiatan yang ada, secara ekologi bisa berlanjut, so­sial bisa diterima dan ekonomi bisa berjalan. Perizinan harus bisa meminimalisir kejadian penyalahgunaan,” ungkapnya.

Irmansyah Rahman, Kadis Kehutanan Provinsi Jambi sendiri dalam sambutannya mengatakan, luasan hutan Jambi memang cukup be­sar. Disampaikannya, Jambi memiliki 4 taman nasional. Diantaranya, Taman Nasional Bukit Dua Belas, Taman Na­sional Bukit Tiga Puluh, Ta­man Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Berbak. “Ada 18 izin pemanfaatan ha­sil hutan yang dipegang oleh pengusaha sampai saat ini,” sebutnya.


Sumber : Jambi Ekspres

Berita Terkait



add images