iklan
Catatan Kongres PMII XVIII (Jambi, 30 Mei-5Juni 2014)

Dunia aktivisme tampaknya menghadapi masa yang krusial akibat transformasi sosial dan paradoks reformasi yang terjadi. Selain agenda demokratisasi yang berjalan begitu cepat, keterbukaan informasi dan kian kuatnya cengkraman neo liberalisasme ekonomi, aktivis mahasiswa juga dihadapkan pada jebakan pragmatisme politik yang berakhir dengan politik transaksional.

Reformasi seakan menjadi pintu terakhir mahasiswa untuk berada di garis perlawanan dan non-kooperatif terhadap negara. Kendati pun ada yang setia di garis perlawanan toh ketika ditelusuri ada tangan yang menggerakkan dari belakang (invisible hand). Sudah menjadi rahasia umum, setiap kali ada aksi mahasiswa, baik di jalanan atau pun dalam bentuk advokasi sosial, pertanyaan yang selalu muncul adalah, “siapa bandarnya dan berapa anggarannya?”. Tak pelak, dunia gerakan mahasiswa ditafsiri sebagai kepanjangan tangan dari para bandar yang berkepentingan.

Dalam keadaan yang seperti ini keberadaan gerakan jalanan menempati posisi yang tidak terlalu signifikan, bahkan kurang menemukan relevansinya. Karena gerakan mahasiswa bukan lahir dari pembacaan yang kritis dan menyeluruh, melainkan digerakkan berdasar pada kepentingan. Fakta inilah yang jika dibiarkan maka keberadaan gerakan mahasiswa tidak akan menjadi pilar kelima demokrasi, melainkan hanya menjadi pintu masuk suramnya generasi masa depan bangsa. Sebab mental generasi mudanya terlampau pragmatis dan oportunis.

Kenyataan semacam ini yang patut direnungkan dan disikapi oleh aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang pada tanggal 30 Mei sampai 5 Juni 2014 ini akan menyelenggarakan Kongres ke-18 di Jambi. Bahwa hal terbesar yang dihadapi kader PMII bukan lagi rezim politik yang diktator, melainkan runtuhnya nilai-nilai idealisme dalam menata gerakan. Ini sejalan dengan agenda kapitalisme global di mana generasi muda masyarakat dunia ketiga sengaja dikonstruk agar bermental pragmatis, hedonis dan kehilangan jati diri. Ironisnya, keberadaan aktivis mahasiswa hari ini tak lebih dari sekedar ritual belaka dan bahkan ada yang mencari keuntungan “ekonomi” ketika masuk dalam organisasi mahasiswa.

Kondisi semacam itu paling tidak disebabkan oleh dua hal, pertama, runtuhnya independensi gerakan mahasiswa. Jargon bahwa gerakan mahasiswa tidak berafiliasi dengan partai politik hanya terjadi di permukaan saja, sementara di belakang layar, mereka melakukan transaksi-transaksi dengan kepentingan yang sesaat. Dalam konteks PMII, deklarasi murnajati 1972 yang menegaskan bahwa PMII independen dari partai dan organisasi politik manapun, kini hanya menjadi catatan sejarah yang menua. Kedua, tidak adanya penopang ekonomi yang bisa membuat gerakan mahasiswa itu berjalan mandiri. Euforia keberhasilan gerakan reformasi membuat mahasiswa terlenan dengan gerakan politik semata, sementara gerakan di bidang kewirausahaan yang nota bene dapat menopang gerakan di bidang ekonomi dilupakan.  

Selama ini gerakan PMII hanya mencakup empat hal, yakni gerakan pemikiran, gerakan sosial, gerakan kebudayaan, dan gerakan politik. Sementara gerakan dalam bidang kewirausahaan belum tergarap secara maksimal. Padahal jika mau membuka mata dan membaca sejarah, seluruh gerakan sosial kemasyarakatan di republik ini dibangun dari gerakan ekonomi. Dan setiap aksi besar selalu membutuhkan dana besar.

Spirit Kewirausahaan


Berangkat dari hal tersebut, maka dalam refleksi ke-54 hari lahir PMII, penulis hendak menawarkan satu konsep gerakan kewirausahaan sebagai alternatif gerakan mahasiswa di era reformasi. PMII harus lepas dari pola-pola lama yang hanya mengedepankan gerakan sosial-politik. Menurut hemat penulis cara terbaik untuk membentengi kader PMII dari mental pengemis-pragmatis adalah dengan membangun gerakan entrepreneurship. Di dalam mars PMII ada filosofi yang kuat yang dapat dijadikan landasan dalam membangun spirit entrepreneurship.
--batas--
Kebutuhan akan lahirnya generasi muda yang lincah berwirausaha kini semakin mendesak. Setidaknya ada dua alasan mengapa spirit kewirausahaan penting ditanamkan bagi kader PMII. Pertama, sebagai organisasi yang memiliki visi kebangsaan, PMII dituntut terlibat dalam membangun perekonomian bangsa. David McClelland, dari Universitas Harvard dalam bukunya “The Achieving Society (Van Nostrand, 1961), mengemukakan bahwa negara bisa makmur apabila minimal 2% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha.minimnya jumlah enterpreneur handal yang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat dan pertumbuhan perekonomian negara. Sementara di republik ini sampai dengan tahun 2010, jumlah enterpreneur Indonesia sebesar 0,24 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Kalah jauh dibandingkan dengan negara di ASEAN lainnya, seperti Singapura yang memiliki wirausaha 7,2 persen dari total jumlah penduduknya. Thailand sebesar 4,1 persen dan Malaysia 2,1 persen.

Kedua, kader PMII yang nota bene adalah kelompok tradisionalis, mayoritas dari pesantren dan anak petani dituntut untuk menata kehidupannya agar lebih sejahtera. Sadar atau tidak sadar, hingga kini ketika ditanya siapa alumni PMII yang menjadi pengusaha sukses di republik ini, para kader gagap menjawabnya. Karena memang sangat minim alumni PMII yang sukses dalam berwirausaha.

Oleh karena itu mulai sekarang, PMII dari tingkat pusat hingga tingkat kampus mesti menjadikan kadernya sebagai target intervensi utama pembentukan jiwa kewirausahaan melalui proses pembelajaran, training pengembangan kapasitas, pemangangan di perusahaan dan institusi bisnis lainnya, serta pendampingan usaha sampai menjadi pengusaha yang mandiri. Disamping itu, para alumni PMII perlu menciptakan forum jaringan kerjasama antara kader dengan para pengusaha lokal, nasional dan internasional dengan format connection for enterpreneurship. Polanya adalah dengan kemitraan antara ‘bapak dan anak asuh’. Para pengusaha yang sukses di bidang usaha tertentu (khususnya yang alumni PMII), dapat menjadi bapak asuh dari kalangan para kader sebagai anak asuh.

Melalui gerakan kewirausahaan, di samping akan menjadi format baru kaderisasi PMII juga akan berkontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi negeri ini. Jika gerakan kewirausahaan di PMII dibangun secara simultan maka 10-20 tahun yang akan datang akan terjadi ledakan pengusaha muda di negeri ini. Dan ini sejalan dengan prediksi Bappenas bahwa di tahun 2030 Indonesia akan adanya bonus demografi yang tentu saja menuntut pemudanya untuk kreatif dan mandiri.

Tentu saja, gerakan kewirausahaan tidak harus mematikan gerakan sosial, gerakan politik, gerakan pemikiran dan gerakan keagamaan dalam PMII. Akan tetapi justeru dengan pola menjadikan kader sebagai target investasi kewirausahaan, gerakan PMII bisa lebih independen dan tidak tergantung pada dana sponsor, donor, atau pun subsidi spemerintah. Gerakan kewirausahaan juga relevan diterapkan bagi organisasi mahasiswa yang lain. Karena hanya melalui gerakan ini kemandirian ekonomi akan terwujud serta dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran secara signifikan.

Imam S Arizal, Mantan Ketum PMII DIY, Peneliti CTSD UIN Sunan Kalijaga.



Sumber : Jambi Ekspres

Berita Terkait



add images