iklan Illustrasi.
Illustrasi.

JAKARTA - Kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik untuk enam golongan mendapat dukungan dari Andri Riswandi, Head of Consultant Indepth Research Consulting, lembaga riset untuk kebijakan publik.

Dia  mengatakan bahwa penghapusan subsidi untuk enam golongan itu memang harus dilakukan pemerintah sebagai salah satu langkah untuk mengurangi subsidi energi tahun 2014.

"Penghapusan subsidi ini memang harus dilakukan untuk mengurangi subsidi energi tahun 2014," ujar Andri, Selasa(2/9).

Sebagaimana diketahui dalam APBN Perubahan 2014 telah ditetapkan subsidi energi Rp 350,31 triliun atau membengkak 24% dari APBN 2014 sebesar Rp 282,1 triliun, termasuk di dalamnya subsidi untuk listrik sebesar Rp 103,81 triliun.

Sebelumnya diberitakan, kenaikan tarif listrik mengerek tingkat inflasi Agustus 2014 meski nominalnya tidak terlalu signifikan. Inflasi Agustus tercatat 0,47%. Proyeksi median survei yang dilakukan Bloomberg menyebutkan inflasi Agustus 0,33%. Proyeksi itu tidak jauh dari Bank Indonesia yang mengestimasi inflasi di kisaran 0,3%.

Meski demikian, BPS menilai kenaikan indeks harga konsumen itu rendah dibandingkan periode sama tahun-tahun sebelumnya.

“Kalau dianut ke belakang sejak 2005, inflasi kali ini hanya kalah dari 2006. Ini karena masih ada dampak Lebaran. Artinya, pengendalian inflasi sudah bagus. Sepanjang tahun kalender, inflasi 3,42%, sedangkan secara tahunan 3,99%,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin.

Diketahui, kenaikan tarif listrik untuk enam golongan itu yakni kategori rumah tangga dengan daya listrik 1.300 hingga 5.500 (R-1 dan R-2) kini telah merasakan kenaikan tarif listrik yang ditetapkan sejak 1 Juli lalu. Selain kelompok rumah tangga, pemerintah juga telah menghapus subsidi untuk kelompok industri I-3 non go public, pemerintah P-2 (di atas 200 kVA), dan penerangan jalan umum P-2 .

Tentu saja, dari enam golongan itu, kelompok rumah tangga yang akan terdampak cukup siginifikan. Kelompok ini mengalami kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,70% hingga 11,36%.

Jika mengacu pada tagihanlistrik Agustus ini, tentu tagihan listriknya akan terus mengalami kenaikan, mengingat kebijakan penghapusan subsidi tahap ke-2 ini dilakukan  secara berkala per dua bulanan. Pada September nanti, tagihan yang harus dibayar sebesar Rp 409.745 dan November sebesar Rp 452.481.

Penghapusan subsidi listrik yang berdampak pada kenaikan inflasi hanya 0,09% ini mampu menghemat pengeluaran Rp 8,51 triliun. Rencananya, dana subsidi listrik ini akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur khususnya jaringan listrik ke desa-desa di tengah pertumbuhan konsumsi listrik yang telah mencapai 10%.

Andri yang merupakan alumni ITS Surabaya ini menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur listrik ini sangat penting terutama untuk menghasilkan sumber listrik yang memadai. Pasalnya, setiap 1% pertumbuhan tentu dibutuhkan sekitar 1,5% pertumbuhan suplai listrik.

Selama ini, peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik tidak seimbang dengan pertumbuhan sarana kelistrikan, di samping ketidakpastian penyediaan gas dan investasi. Jadi, kalau saat ini masih sering terjadi pemadaman, itu menunjukkan cadangan listrik (selisih kapasitas terpasang dengan daya mampu) kita memang sangat tipis, kurang dari 35% beban puncak.

Di sisi lain, Andri melihat adanya dampak penyesuaian tarif listrik tahap kedua tahun ini. Dia mencatat  ada 12 dari 37 golongan tarif yang sudah mencapai tarif keekonomian. Lalu ada 19% pelanggan dari 55,2 juta pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian.

Pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian, mengkonsumsi 66%  listrik dari total penjualan 16,7 TWh per bulan. Terakhir, pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian, memberikan77% revenue bagi PLN dari total revenue Rp15 triliun per bulan.

Sebelumnya, Satya Widya Yudha, anggota Komisi VII DPR RI, mengatakan bahwa kenaikan bertahap dua bulanan ini merupakan salah satu cara mengalihkan pola subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung kepada masyarakat). “Saya yakin langkah ini akan berhasil mengingat pola market listrik itu sangat segmented.”

Karena segmented ini pula, kata politisi asal Fraksi Partai Golkar ini mengurangi subsidi listrik lebih mudah dibandingkan mengurangi subsidi BBM. Di sisi lain, Satya mengatakan bahwa untuk menghemat pengeluaran negara, seharusnya pemerintah tidak bertumpu pada pengurangan subsidi listrik saja.

Menurutnya, masih ada cara lain untuk menekan pengeluaran negara dalam subsidi energi di mana telah melampaui Rp 300 triliun tahun ini. Salah satunya mengefisiensikan pembangkit listrik. Pasalnya, biaya produksi listrik juga mempengaruhi besaran pengeluaran. “Mestinya tidak semata-mata betumpu pada kenaikan tarif, tapi membangun pembangkit sendiri, menghindari kerugian operasional,” katanya. 

(sam/jpnn)

 

 


Berita Terkait



add images