iklan Illustrasi.
Illustrasi.

JAKARTA  – Tahun ini merupakan momen yang paling tepat bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sebab, meski tren harga minyak mentah Indonesia (ICP) tengah menurun, selisih harga BBM bersubsidi dengan harga pasar masih cukup jauh.

Sebaliknya, tren penurunan ICP, jika dibarengi kenaikan harga premium dan solar, bisa mendekatkan selisih harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi. Dengan demikian, masyarakat bisa mulai beralih menggunakan BBM nonsubsidi seperti pertamax.

Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Ibrahim Hasyim menyatakan, menurunnya ICP merupakan momentum untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. ’’Secara hukum ekonomi, memang harusnya begitu. Dengan begitu, selisih harga antara BBM bersubsidi dan BBM nonsubsidi bisa lebih kecil. Kalau dinaikkan, akan terjadi disparitas yang tipis sehingga masyarakat menengah ke atas pun berpindah mengonsumsi BBM nonsubsidi,’’ katanya Selasa (2/9).

Menurut dia, kenaikan harga Rp 2 ribu per liter sudah cukup efektif untuk menjaga dari potensi jebolnya kuota BBM. Setidaknya, hal tersebut bakal membuat penyelundup BBM bersubsidi berpikir dua kali.

Dengan harga minyak mentah yang semakin menurun, bukan tidak mungkin harga BBM nonsubsidi seperti pertamax bisa mencapai Rp 10 ribu per liter. Dengan demikian, pemerintah hanya perlu menaikkan harga premium Rp 2.500 dari harga saat ini. Harga premium dan solar saat ini dipatok Rp 6.500 per liter.

’’Saat ini memang saat yang tepat karena pasar minyak mentah dunia sudah stabil. Negara Timur Tengah yang dulu bisa memainkan harga sekarang sudah mendapat penyeimbang dari Amerika Serikat (AS),’’ katanya.

Dia menegaskan, upaya menaikkan harga BBM bersubsidi tidak berhubungan dengan penanggulangan overkuota tahun ini. Kenaikan harga BBM lebih ditekankan pada upaya perbaikan kinerja energi untuk tahun ke depan. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah lebih berani dalam menerapkan kebijakan.

’’Ruang fiskal yang dilonggarkan itu kan tidak hanya untuk memperbaiki postur APBN. Tapi, bisa digunakan untuk mendorong penggunaan energi alternatif, mulai BBG dan BBN, yang sampai sekarang pemanfaatannya belum dimaksimalkan,’’ ujarnya.

Menurut laporan Tim Harga Minyak Indonesia, rata-rata ICP pada Agustus 2014 mencapai USD 99,51 per barel. Angka tersebut turun 4,8 persen atau USD 5,12 per barel dari rata-rata ICP Juli 2014 senilai USD 104,63 per barel. Penurunan tersebut juga terjadi pada harga minyak mentah jenis Minas/SLC (Sumatran Light Crude). Rata-rata Agustus, produk tersebut terpangkas USD 5,06 per barel, yakni dari USD 105,6 per barel pada Juli 2014 menjadi USD 100 per barel.

Penurunan tersebut sejalan dengan perkembangan harga minyak mentah utama di pasar internasional karena beberapa faktor. Misalnya, laporan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan International Energy Agency (IEA) yang menyebut kilang-kilang pengolahan minyak mentah beroperasi tinggi. Dengan demikian, pasokan beberapa jenis produk meningkat.

Produksi minyak mentah OPEC pada Juli 2014 naik 167 ribu ton barel per hari (bph) jika dibandingkan dengan Juni 2014. Sementara itu, IEA melaporkan, produksi minyak mentah dunia Juli 2014 naik menjadi 93,04 juta barel per hari (bph). Angka itu lebih tinggi 230 ribu bph daripada bulan sebelumnya.

Berdasar proyeksi OPEC Agustus, permintaan minyak mentah 2014 turun 20 barel per hari (bph) jika dibandingkan dengan proyeksi bulan sebelumnya. Demikian pula pertumbuhan permintaan bahan bakar 2014 yang diproyeksikan mencapai 1,1 juta bph. Jumlah itu lebih rendah 0,03 juta bph daripada proyeksi pada bulan sebelumnya.

(bil/c5/sof)

 


Berita Terkait



add images