JAKARTA -
Rencana Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) dan Joko Widodo bersama Jusuf Kalla yang hendak
menaikkan harga BBM mengundang banyak pertanyaan. Pengamat politik Prof Dr Muhammad
Budyatna mengaku heran dengan berubahnya sikap konsisten yang diperlihatkan
PDIP dalam 10 tahun tahun terkahir yang selalu menolak kenaikan harga BBM.
Bukan hanya itu, pernyataan Jokowi dan elite PDIP yang selalu mengatakan
koalisinya adalah koalisi tanpa syarat, dan akan mengutamakan koalisi ramping,
namun ternyata keduanya mulai berubah dan terlihat lasak kusuk menambah barisan
koalisinya.
”Saya bingung melihat mereka, katanya mau koalisi ramping, tapi kok terus
berusaha menarik anggota Koalisi Merah Putih. Katanya pro rakyat, tapi kok
berencana menaikan harga BBM. Padahal kemenangan dalam pileg dan pilpres
seharusnya mereka jadikan tonggak untuk merealisasikan apa yang selama ini
mereka perjuangkan,” terang Budyatna, Selasa (2/9) di Jakarta.
Dia pun mempertanyakan motif sesungguhnya di balik inkonsistensi sikap PDIP dan
Jokowi itu. Apalagi diketahui bahwa sikap konsisten menolajk kenaikan
harga BBM itulah yang membuat PDIP dan Jokowi memenangkan Pemilu 2014.
Jokowi seharus menjelaskan kepada publik apa maksud mereka
mengubah sikap yang berencana menaikkan harga BBM itu.
”Mereka (PDIP) tidak pernah menjelaskan apa maksud mereka. Kalau
sebelumnya selalu mengatakan koalisi ramping lebih nyaman, kenapa sekarang
berusaha membuat koalisi gemuk? Kalau sebelumnya selalu menolak kenaikan harga
BBM, kenapa sekarang justru minta harga BBM dinaikkan? Ini belum dilantik tapi
sikapnya sudah berubah,” tutur Guru Besar Ilmu Politik UI ini.
Dengan mencoba merangkul anggota koalisi merah putih, menurut Budyatna, juga
akan menambah beban pemerintahan karena elite parpol yang akan menjadi menteri
akan bertambah. Ini pun bertentangan dengan niat Jokowi agar tidak ada rangkap
jabatan elite parpol dan pemerintahan agar fokus.
Seharusnya, menurut Budyatna, asal tetap konsisten maka PDIP dan Jokowi tidak
perlu khawatir, sebab rakyat berada di belakang mereka. Menurutnya, adagium tak
ada makan siang gratis dalam politik masih tetap berlaku hingga kini di seluruh
dunia.
Budyatna menambahkan, parpol di koalisinya Jokowi yang
sekarang saja pasti meminta jatah menteri. Sehingga kalau ditambah anggota
koalisinya, tentu menteri dari parpol jumlahnya bertambah.
”Yang jelas tidak mungkin kader biasa di parpol yang diletakkan jadi
menteri karena tentu jatah menteri adalah hak elite parpol. Nah kalau begitu,
kan malah bertolak belakang membentuk kabinet profesional,” pungkas Budyatna.
Terkait pertemuan dengan Ketum DPP PAN Hatta Rajasa Senin malam (1/9) lalu,
presiden terpilih Joko Widodo mengatakan belum ada rencana menarik Hatta
masuk ke dalam tim transisi. Dia juga mengungkapkan bahwa pihaknya sangat
terbuka untuk menerima partai di luar koalisinya untuk bergabung.
”Belum sampai situ (mengajak Hatta ke transisi). Sudah 15 kali saya bilang kita
sangat terbuka,” ujar Jokowi.
(ind)