Happy weekend X-aholic! Waah weekend kali ini pastinya seru yah kalo diabisin bareng orang-orang tersayang. Eits, tapi jangan lupa untuk baca Xpresi edisi Sabtu ini sebelum menikmati weekend kamu. Soalnya seperti biasa, Xpresi Sabtu bakal mengupas habis tentang satu film pilihan buat kamu.
Buat kamu yang ngakunya movie freaks, tentunya nggak mau absen dong ya mantengin layar bioskop tiap minggunya. Sabtu ini, Xpresi bakal ngeresensi tentang film yang sempat booming di eranya. Yey! Cekidot.
Masih ingat dengan sinetron atau film layar lebar Lupus? Kisah unik dan kocak tentang kehidupan remaja Ibukota ini, sempat menjadi fenomenal di masa lalu. Cerita pendek bersambung Lupus bahkan pernah tertuang dalam majalah remaja, dikemas dalam bentuk novel, disajikan dalam bentuk sinetron, kemudian diangkat ke layar lebar pada tahun 1987. Bisa dibilang tokoh Lupus ini adalah salah satu karakter yang menjadi icon di kalangan remaja pada era 80’an.
Meski pernah beberapa kali muncul dalam layar lebar atau layar kaca, tokoh Lupus sendiri akhir-akhir ini kurang dikenal. Padahal di masa lalu, bisa dibilang ia adalah salah satu tokoh rekaan yang paling populer. Karena itulah, film terbaru Lupus yaitu, “Bangun Lagi Dong Lupus” ini bisa menjadi penyegar kerinduan, terutama bagi para penggemarnya.
Reboot, itu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan alur cerita Bangun Lagi Dong Lupus. Setelah dulu sempat tayang film Lupus sampai dengan Part V, kini Komando Production, rumah produksi milik Eko Patrio, mencoba menggarap film ini lagi.
Dasar cerita Bangun Lagi Dong Lupus bisa dibilang tidak terlalu berbeda dengan para pendahulunya. Beberapa karakter pendamping yang juga populer pada film-film Lupus sebelumnya, juga masih dihidupkan dalam sekuel yang terbaru ini. Misalnya aja Boim, yang berkarakter sebagai penggoda wanita tapi selalu gagal dalam usahanya, dan suka berhutang tapi sulit mengembalikannya (diperankan oleh Alfie Alfandy). Gusur yang bertubuh tambun tetapi berjiwa seni terutama sastra, dan tinggal dengan engkongnya (diperankan oleh Jeremy Christian), dan Poppie, si cantik yang menjadi cewek pujaan Lupus (diperankan oleh Acha Septriasa).
Konsepnya adalah memulai semuanya dari awal, dengan konteks serba masa kini. Rambut gondrong berjambul yang sudah nggak jadi trend di abad 20, dihilangkan sebagaimana sinetron-sinetronnya. Tapi, kebiasaannya mengulum permen karet tetap ada.
Nah, tokoh Lupus sendiri ternyata punya tempat di hati penontonnya, seperti teman kita Sri Genti Parbo yang mengaku menyukai tokoh Lupus. “Aku paling suka sosok Lupus. Soalnya, ia sosok cowok yang dermawan, baik, suka menolong orang lain, dan selalu mengutamakan keluarganya. Ia juga punya statement lebih baik makan permen karet ketimbang merokok,” ceritanya kepada Xpresi.
Tapi, dari penuturan kesukaannya pada karakter Lupus, ada satu hal yang fatal dari film ini. Bahwa, Hilman sang penulis naskah memilih untuk melupakan kejahilan Lupus, dan membangun sosoknya serba sempurna. Well, keputusan ini ternyata nggak cukup bijaksana, kalau harus dibandingkan dengan karakter Lupus pertama kalinya.
Niat baik pembuat film ini untuk membangkitkan sang idola lama memang patut diapresiasi, namun sangat disayangkan jika ternyata kemasan baru yang seharusnya menarik, malah terkesan hambar, dan malah tidak lebih baik dari pendahulunya.
Bagi teman kita Mutiara Madelia, kekurangan film ini terletak pada bagian endingnya yang kurang jelas, dan kurang greget. Yap, meskipun menuai beberapa kritikan. Tapi, teman kita Mutiara Madelia dan Lowike Olgadhisa sepakat kalau film ini layak ditonton, karena moral yang disampaikan dalam film ini banyak banget.
Nggak hanya itu, beberapa tokoh karya Hilman Hariwijaya ini, bisa menggambarkan dengan gamblang kehidupan remaja pada masa kini, diramu dengan beberapa bumbu komedi, dan cerita pertemanan bahkan asmara yang menarik.
Bisa dibilang, ide cerita film tersebut tidak terlalu istimewa, dan sangat ringan, tetapi justru karena hal tersebut film ini menjadi enak untuk ditonton. Plot-plot cerita dalam film ini justru bisa membumi dengan gambaran secara gamblang kehidupan para remaja sekolahan di dunia nyata, seakan menjadi dokumentasi kehidupan mereka.(sumber: xpresi jambi ekspres)
Buat kamu yang ngakunya movie freaks, tentunya nggak mau absen dong ya mantengin layar bioskop tiap minggunya. Sabtu ini, Xpresi bakal ngeresensi tentang film yang sempat booming di eranya. Yey! Cekidot.
Masih ingat dengan sinetron atau film layar lebar Lupus? Kisah unik dan kocak tentang kehidupan remaja Ibukota ini, sempat menjadi fenomenal di masa lalu. Cerita pendek bersambung Lupus bahkan pernah tertuang dalam majalah remaja, dikemas dalam bentuk novel, disajikan dalam bentuk sinetron, kemudian diangkat ke layar lebar pada tahun 1987. Bisa dibilang tokoh Lupus ini adalah salah satu karakter yang menjadi icon di kalangan remaja pada era 80’an.
Meski pernah beberapa kali muncul dalam layar lebar atau layar kaca, tokoh Lupus sendiri akhir-akhir ini kurang dikenal. Padahal di masa lalu, bisa dibilang ia adalah salah satu tokoh rekaan yang paling populer. Karena itulah, film terbaru Lupus yaitu, “Bangun Lagi Dong Lupus” ini bisa menjadi penyegar kerinduan, terutama bagi para penggemarnya.
Reboot, itu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan alur cerita Bangun Lagi Dong Lupus. Setelah dulu sempat tayang film Lupus sampai dengan Part V, kini Komando Production, rumah produksi milik Eko Patrio, mencoba menggarap film ini lagi.
Dasar cerita Bangun Lagi Dong Lupus bisa dibilang tidak terlalu berbeda dengan para pendahulunya. Beberapa karakter pendamping yang juga populer pada film-film Lupus sebelumnya, juga masih dihidupkan dalam sekuel yang terbaru ini. Misalnya aja Boim, yang berkarakter sebagai penggoda wanita tapi selalu gagal dalam usahanya, dan suka berhutang tapi sulit mengembalikannya (diperankan oleh Alfie Alfandy). Gusur yang bertubuh tambun tetapi berjiwa seni terutama sastra, dan tinggal dengan engkongnya (diperankan oleh Jeremy Christian), dan Poppie, si cantik yang menjadi cewek pujaan Lupus (diperankan oleh Acha Septriasa).
Konsepnya adalah memulai semuanya dari awal, dengan konteks serba masa kini. Rambut gondrong berjambul yang sudah nggak jadi trend di abad 20, dihilangkan sebagaimana sinetron-sinetronnya. Tapi, kebiasaannya mengulum permen karet tetap ada.
Nah, tokoh Lupus sendiri ternyata punya tempat di hati penontonnya, seperti teman kita Sri Genti Parbo yang mengaku menyukai tokoh Lupus. “Aku paling suka sosok Lupus. Soalnya, ia sosok cowok yang dermawan, baik, suka menolong orang lain, dan selalu mengutamakan keluarganya. Ia juga punya statement lebih baik makan permen karet ketimbang merokok,” ceritanya kepada Xpresi.
Tapi, dari penuturan kesukaannya pada karakter Lupus, ada satu hal yang fatal dari film ini. Bahwa, Hilman sang penulis naskah memilih untuk melupakan kejahilan Lupus, dan membangun sosoknya serba sempurna. Well, keputusan ini ternyata nggak cukup bijaksana, kalau harus dibandingkan dengan karakter Lupus pertama kalinya.
Niat baik pembuat film ini untuk membangkitkan sang idola lama memang patut diapresiasi, namun sangat disayangkan jika ternyata kemasan baru yang seharusnya menarik, malah terkesan hambar, dan malah tidak lebih baik dari pendahulunya.
Bagi teman kita Mutiara Madelia, kekurangan film ini terletak pada bagian endingnya yang kurang jelas, dan kurang greget. Yap, meskipun menuai beberapa kritikan. Tapi, teman kita Mutiara Madelia dan Lowike Olgadhisa sepakat kalau film ini layak ditonton, karena moral yang disampaikan dalam film ini banyak banget.
Nggak hanya itu, beberapa tokoh karya Hilman Hariwijaya ini, bisa menggambarkan dengan gamblang kehidupan remaja pada masa kini, diramu dengan beberapa bumbu komedi, dan cerita pertemanan bahkan asmara yang menarik.
Bisa dibilang, ide cerita film tersebut tidak terlalu istimewa, dan sangat ringan, tetapi justru karena hal tersebut film ini menjadi enak untuk ditonton. Plot-plot cerita dalam film ini justru bisa membumi dengan gambaran secara gamblang kehidupan para remaja sekolahan di dunia nyata, seakan menjadi dokumentasi kehidupan mereka.(sumber: xpresi jambi ekspres)