SEMANGAT menuntut ilmu selalu ada di diri setiap orang. Mentransformasi ilmu yang sudah didapatkan kepada orang lain akan membuat ilmu milik kita lebih bermanfaat. Inilah yang dilakukan Beteguh, seorang anak rimba asal Bukit Dua Belas.
------------------
“OI..Bebudak mari bepelojoran...” ujar Beteguh dan suaraya menggema di tengah rimba Bukit Dua Belas. Beteguh pemuda tanggung berumur 14 tahun. Dia menyandarkan papan tulis kecil yang dibawanya pada gundukan tanah di depannya. Tak lama kemudian, satu persatu anak-anak rimba datang mendekat.
Dengan mengenakan cawot (kain panjang yang digulung untuk menutupi kemaluannya, red), anak-anak rimba yang berjumlah enam orang itu segera mengelilingi Beteguh. Di tangan ‘bebudak’ sudah siap buku dan pensil, mereka siap mendengarkan penjelasan sang guru yang umurnya tidak terpaut jauh dari mereka.
Pagi itu, diantara kicau burung dan sahut-sahutan siamang, Beteguh mengajarkan anak-anak rimba yang sebagian merupakan kerabatnya. Dengan cekatan Beteguh menulis angka, dan mengajarkan anak rimba melafalkan masing-masing huruf.
Kemudian ia meminta anak-anak itu menyebutkan kembali nama-nama angka pada angka yang di tunjuknya. “Nio huruy apo,” sebut Beteguh menunjuk angka 3.
Dengan cepat murid-murid kecil itu berebut menyebut angka, ada yang tiga ada juga yang menyebut empat. “Mumpa burung terbong angko tiga,” sebut Beteguh.
Begitulah cuplikan sekelumit siang di belantara Bukit Dua belas yang menjadi tempat tinggal 1.700 Orang Rimba, komunitas adat yang hingga kini teguh dengan adat dan budaya mereka. Mereka menjadikan rimba sebagai sumber hidup dan berpenghidupan.
“Bagi Orang Rimba, awalnya pendidikan dianggap budaya luar yang akan merusak adat mereka. Namun seiring dengan semakin tingginya interaksi dengan orang terang (sebutan orang rimba untuk masyarakat di luar komunitas mereka, red) pendidikan baca tulis dan hitung dianggap menjadi kebutuhan,”ujar Manager Komunikasi KKI Warsi Rudi Syaf.
Sejak 1998, KKI Warsi memperkenalkan pendidikan alternatif pada Orang Rimba dengan konsep pendidikan yang sesuai dengan adat dan budaya Orang Rimba. Metode yang dipilih adalah baca tulis dan hitung. Untuk memudahkan anak-anak rimba mengingat huruf dan angka, biasamya huruf dan angka tersebut dianalogikan dengan benda-benda yang ada disekitar mereka.
Kini metode pengajaran yang mengaitkan dengan lingkungan sekitar dikenal dengan metode kontekstual teaching and learning dan diakomodir dalam kurikulum 2013. Warsi dalam memberikan pendidikan untuk Orang Rimba, selain dengan menerjunkan langsung staf ke lapangan, juga mengembangkan kader-kader pendidikan. Yaitu, Orang Rimba yang mempunyai kemampuan lebih untuk mengajar di kelompok-kelompok Orang Rimba. Salah satunya adalah Beteguh yang sudah menjadi kader pendidikan sejak 2010 silam.
Beteguh yang kini tercatat sebagai siswa kelas VIII SMP 12 Satu Atap Sarolangun. Awalnya dia merupakan peserta pendidikan alternatif Warsi sejak 2006 lalu. Pada 2011, Beteguh diikutkan ujian persamaan di SD 191 Pematang Kabau, Sarolangun.
Kemampuan Beteguh dalam menyerap ilmu boleh dibilang diatas rata-rata, hal ini diperlihatkan dengan diraihnya sejumlah prestasi, termasuk juara kelas di SMP tempat dia bersekolah.
Sebagai kader pendidikan, tugas Beteguh adalah mengajar baca tulis dan hitung anak-anak rimba lainnya yang tersebar di sejumlah kelompok Orang Rimba di Bukit Dua Belas. Awalnya polanya tiga hari dia sekolah formal yang kala itu kelas jauh dan 4 hari kembali ke rimba untuk mengajar anak-anak rimba.
Namun kini sejak 3 bulan belakangan Beteguh sudah tercatat sebagai siswa reguler di SMP tempat dia bersekolah. Maka pengajarannya dia sekolah dua minggu dalam sebulan dan dua minggu lagi dihabiskannya di dalam rimba untuk mengajar anak-anak rimba. Pihak sekolah memberikan kelonggaran bagi Beteguh untuk tidak sepanjang hari mengikuti pelajaran di sekolah.
“Dari awal memang sudah kita bicarakan dengan pihak sekolah, bahwa anak-anak rimba yang bersekolah di SMP satu atap ini, diberi kelonggaran untuk tidak setiap hari masuk sekolah, dua minggu sekolah, dua minggu mereka di dalam,”ujar Nazariah Fasilitator Pendidikan Warsi.
Semangat anak-anak rimba untuk belajar sangat tinggi. Meski hanya diatas tanah, tanpa bangku dan kursi apalagi seragam, mereka akan bersemangat mendengarkan setiap penjelasan yang diberikan gurunya.
“Kami belajar huruy (huruf) dan angka supaya kami tidak dipaloloi (dibodohi) orang supaya hutan rimba tempat hidup kami terpelihara dengan baik. Sebab hutan rimba inilah sumber penghidupan kami Orang Rimba,” sebut Beteguh yang merupakan anak ke tiga dari tujuh bersaudara ini ketika ditanya motofasinya belajar dan mengajar.
Bagi Orang Rimba, yang dahulunya tidak mengenal huruf dan angka. Kondisi ini telah menyebabkan mereka menjadi sasaran pembodohan banyak pihak termasuk dalam penguasaan kawasan hidup. Dengan wilayah sebaran yang luas, namun tidak memiliki bukti otentik yang diakui negara, sangat mudah bagi banyak pihak seperti perusahaan HTI, sawit dan juga transmigrasi untuk mencaplok kawasan hidup Orang Rimba.
Dengan adanya kemampuan baca tulis dan hitung pada anak-anak rimba, paling tidak orang rimba sudah mulai tahu setiap surat yang disodorkan ke mereka. Ini juga yang menjadi misi Beteguh dan kader guru rimba lainnya, membebaskan anak-anak rimba dari buta aksara.
Dengan pola kunjungan belajar ke kelompok Orang Rimba, terbukti ampuh untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal huruf dan angka serta menuliskannya kembali. Mengajak seluruh anak rimba ke sekolah formal untuk saat ini juga masih belum menjadi solusi untuk mengatasi buta aksara bagi Orang Rimba.
Selain beban mata pelajaran di sekolah formal yang cukup rumit, juga pola sekolah yang sehari-hari mengharuskan anak-anak masuk kelas menyulitkan anak-anak rimba. Belum lagi jarak tempuh yang sangat jauh dari sekolah formal ke sekolah.
Beteguh misalnya, jika dia akan bersekolah ke SMP harus menempuh perhalanan sekitar 6 jam berjalan kaki dari genah (kediaman) orang tuanya di Aek Behan Taman Nasional Bukit Dua Belas, dengan medan turun naik bukit, sudah bisa dipastikan kondisi ini akan sulit bagi anak-anak rimba untuk masuk ke sekolah formal.
Namun rintangan dan kondisi sulit ini tak menyurutkan langkah Beteguh untuk menularkan ilmu pada anak-anak rimba Bukit Dua Belas. Tak kurang dari 50 orang anak rimba yang menjadi anak didiknya yang tersebar di berbagai kelompok di Bukit Dua Belas, seperti kelompok Orang Rimba di Sungai Gemuruh, Sungai Punti Kayu, Sungai Tengkuyungon, Tanah Kepayong, Pisang Krayak dan Nuaron Godong.
Jarak antar kelompok yang berjauhan dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 - 3 jam perjalanan. Namun Beteguh dengan senang hati melakukannya. Karena ia ingin, tak ada lagi anak-anak Orang Rimba yang tak bisa baca tulis hitung, tak ada anak-anak Rimba yang dengan mudah dibodoh-bodohi orang hanya karena buta huruf seperti generasi orang tuanya dulu.
Putra dari Mangku Basemen ini menceritakan, awalnya dia sempat malu dan takut untuk ikut belajar. “Kalau ada ibu guru datang, akeh lari, malu.. tapi akeh perlahan mulai diajak samo guru Warsi untuk belajar, kamudian akeh tokang baca tuliy (tulis) hitung (saya pintar baca tulis dan hitung) dan akeh dimasukkan ke SD dan kini SMP,” sebut remaja yang bercita-cita untuk menjadi peneliti ini.
Ketika menjadi guru untuk anak-anak rimba, kesulitan yang dialami peraih ranking pertama di kelas VII SMP 12 Satu Atap Sarolangun ini, adalah mengumpulkan murid-murid rimba kala ada kematian di anggota kelompoknya. Belangun merupakan kepindahan orang Rimba ke tempat lain untuk menghilangkan kesedihan, kala ada anggota kelompoknya yang meninggalkan dunia.
“Kalau ado nang belangun, akeh susah mencari murid, jemput ke sana, cari ke sini, baru kami belajar,” urai aktor pemeran utama dalam pementasan teater dengan lakon “Guru kecil” di hadapan peserta Perkemahan Putri Nasional (Perkempinas 2012) di Kabupaten Sarolangun beberapa hari lalu.
Di samping kesibukannya sekolah dan mengajar anak-anak rimba, Beteguh juga tak melupakan aktifitas dia sebagai Orang Rimba. “Kalau akeh sudah mengajar, akeh membantu orang tua, nyadap karet, nyimas kebun,” ucap remaja yang gemar membaca berbagai jenis buku ini.
Kini di hari pendidikan yang merupakan peringatan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara yang merupakan tokoh nasional yang menggerakkan anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Beteguh dengan caranya, sudah menerapkan semangat yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara meski Beteguh sendiri belum mengenal sosok pahlawan nasional ini. (*)
Penulis : WISMAN WAZIR
------------------
“OI..Bebudak mari bepelojoran...” ujar Beteguh dan suaraya menggema di tengah rimba Bukit Dua Belas. Beteguh pemuda tanggung berumur 14 tahun. Dia menyandarkan papan tulis kecil yang dibawanya pada gundukan tanah di depannya. Tak lama kemudian, satu persatu anak-anak rimba datang mendekat.
Dengan mengenakan cawot (kain panjang yang digulung untuk menutupi kemaluannya, red), anak-anak rimba yang berjumlah enam orang itu segera mengelilingi Beteguh. Di tangan ‘bebudak’ sudah siap buku dan pensil, mereka siap mendengarkan penjelasan sang guru yang umurnya tidak terpaut jauh dari mereka.
Pagi itu, diantara kicau burung dan sahut-sahutan siamang, Beteguh mengajarkan anak-anak rimba yang sebagian merupakan kerabatnya. Dengan cekatan Beteguh menulis angka, dan mengajarkan anak rimba melafalkan masing-masing huruf.
Kemudian ia meminta anak-anak itu menyebutkan kembali nama-nama angka pada angka yang di tunjuknya. “Nio huruy apo,” sebut Beteguh menunjuk angka 3.
Dengan cepat murid-murid kecil itu berebut menyebut angka, ada yang tiga ada juga yang menyebut empat. “Mumpa burung terbong angko tiga,” sebut Beteguh.
Begitulah cuplikan sekelumit siang di belantara Bukit Dua belas yang menjadi tempat tinggal 1.700 Orang Rimba, komunitas adat yang hingga kini teguh dengan adat dan budaya mereka. Mereka menjadikan rimba sebagai sumber hidup dan berpenghidupan.
“Bagi Orang Rimba, awalnya pendidikan dianggap budaya luar yang akan merusak adat mereka. Namun seiring dengan semakin tingginya interaksi dengan orang terang (sebutan orang rimba untuk masyarakat di luar komunitas mereka, red) pendidikan baca tulis dan hitung dianggap menjadi kebutuhan,”ujar Manager Komunikasi KKI Warsi Rudi Syaf.
Sejak 1998, KKI Warsi memperkenalkan pendidikan alternatif pada Orang Rimba dengan konsep pendidikan yang sesuai dengan adat dan budaya Orang Rimba. Metode yang dipilih adalah baca tulis dan hitung. Untuk memudahkan anak-anak rimba mengingat huruf dan angka, biasamya huruf dan angka tersebut dianalogikan dengan benda-benda yang ada disekitar mereka.
Kini metode pengajaran yang mengaitkan dengan lingkungan sekitar dikenal dengan metode kontekstual teaching and learning dan diakomodir dalam kurikulum 2013. Warsi dalam memberikan pendidikan untuk Orang Rimba, selain dengan menerjunkan langsung staf ke lapangan, juga mengembangkan kader-kader pendidikan. Yaitu, Orang Rimba yang mempunyai kemampuan lebih untuk mengajar di kelompok-kelompok Orang Rimba. Salah satunya adalah Beteguh yang sudah menjadi kader pendidikan sejak 2010 silam.
Beteguh yang kini tercatat sebagai siswa kelas VIII SMP 12 Satu Atap Sarolangun. Awalnya dia merupakan peserta pendidikan alternatif Warsi sejak 2006 lalu. Pada 2011, Beteguh diikutkan ujian persamaan di SD 191 Pematang Kabau, Sarolangun.
Kemampuan Beteguh dalam menyerap ilmu boleh dibilang diatas rata-rata, hal ini diperlihatkan dengan diraihnya sejumlah prestasi, termasuk juara kelas di SMP tempat dia bersekolah.
Sebagai kader pendidikan, tugas Beteguh adalah mengajar baca tulis dan hitung anak-anak rimba lainnya yang tersebar di sejumlah kelompok Orang Rimba di Bukit Dua Belas. Awalnya polanya tiga hari dia sekolah formal yang kala itu kelas jauh dan 4 hari kembali ke rimba untuk mengajar anak-anak rimba.
Namun kini sejak 3 bulan belakangan Beteguh sudah tercatat sebagai siswa reguler di SMP tempat dia bersekolah. Maka pengajarannya dia sekolah dua minggu dalam sebulan dan dua minggu lagi dihabiskannya di dalam rimba untuk mengajar anak-anak rimba. Pihak sekolah memberikan kelonggaran bagi Beteguh untuk tidak sepanjang hari mengikuti pelajaran di sekolah.
“Dari awal memang sudah kita bicarakan dengan pihak sekolah, bahwa anak-anak rimba yang bersekolah di SMP satu atap ini, diberi kelonggaran untuk tidak setiap hari masuk sekolah, dua minggu sekolah, dua minggu mereka di dalam,”ujar Nazariah Fasilitator Pendidikan Warsi.
Semangat anak-anak rimba untuk belajar sangat tinggi. Meski hanya diatas tanah, tanpa bangku dan kursi apalagi seragam, mereka akan bersemangat mendengarkan setiap penjelasan yang diberikan gurunya.
“Kami belajar huruy (huruf) dan angka supaya kami tidak dipaloloi (dibodohi) orang supaya hutan rimba tempat hidup kami terpelihara dengan baik. Sebab hutan rimba inilah sumber penghidupan kami Orang Rimba,” sebut Beteguh yang merupakan anak ke tiga dari tujuh bersaudara ini ketika ditanya motofasinya belajar dan mengajar.
Bagi Orang Rimba, yang dahulunya tidak mengenal huruf dan angka. Kondisi ini telah menyebabkan mereka menjadi sasaran pembodohan banyak pihak termasuk dalam penguasaan kawasan hidup. Dengan wilayah sebaran yang luas, namun tidak memiliki bukti otentik yang diakui negara, sangat mudah bagi banyak pihak seperti perusahaan HTI, sawit dan juga transmigrasi untuk mencaplok kawasan hidup Orang Rimba.
Dengan adanya kemampuan baca tulis dan hitung pada anak-anak rimba, paling tidak orang rimba sudah mulai tahu setiap surat yang disodorkan ke mereka. Ini juga yang menjadi misi Beteguh dan kader guru rimba lainnya, membebaskan anak-anak rimba dari buta aksara.
Dengan pola kunjungan belajar ke kelompok Orang Rimba, terbukti ampuh untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal huruf dan angka serta menuliskannya kembali. Mengajak seluruh anak rimba ke sekolah formal untuk saat ini juga masih belum menjadi solusi untuk mengatasi buta aksara bagi Orang Rimba.
Selain beban mata pelajaran di sekolah formal yang cukup rumit, juga pola sekolah yang sehari-hari mengharuskan anak-anak masuk kelas menyulitkan anak-anak rimba. Belum lagi jarak tempuh yang sangat jauh dari sekolah formal ke sekolah.
Beteguh misalnya, jika dia akan bersekolah ke SMP harus menempuh perhalanan sekitar 6 jam berjalan kaki dari genah (kediaman) orang tuanya di Aek Behan Taman Nasional Bukit Dua Belas, dengan medan turun naik bukit, sudah bisa dipastikan kondisi ini akan sulit bagi anak-anak rimba untuk masuk ke sekolah formal.
Namun rintangan dan kondisi sulit ini tak menyurutkan langkah Beteguh untuk menularkan ilmu pada anak-anak rimba Bukit Dua Belas. Tak kurang dari 50 orang anak rimba yang menjadi anak didiknya yang tersebar di berbagai kelompok di Bukit Dua Belas, seperti kelompok Orang Rimba di Sungai Gemuruh, Sungai Punti Kayu, Sungai Tengkuyungon, Tanah Kepayong, Pisang Krayak dan Nuaron Godong.
Jarak antar kelompok yang berjauhan dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 - 3 jam perjalanan. Namun Beteguh dengan senang hati melakukannya. Karena ia ingin, tak ada lagi anak-anak Orang Rimba yang tak bisa baca tulis hitung, tak ada anak-anak Rimba yang dengan mudah dibodoh-bodohi orang hanya karena buta huruf seperti generasi orang tuanya dulu.
Putra dari Mangku Basemen ini menceritakan, awalnya dia sempat malu dan takut untuk ikut belajar. “Kalau ada ibu guru datang, akeh lari, malu.. tapi akeh perlahan mulai diajak samo guru Warsi untuk belajar, kamudian akeh tokang baca tuliy (tulis) hitung (saya pintar baca tulis dan hitung) dan akeh dimasukkan ke SD dan kini SMP,” sebut remaja yang bercita-cita untuk menjadi peneliti ini.
Ketika menjadi guru untuk anak-anak rimba, kesulitan yang dialami peraih ranking pertama di kelas VII SMP 12 Satu Atap Sarolangun ini, adalah mengumpulkan murid-murid rimba kala ada kematian di anggota kelompoknya. Belangun merupakan kepindahan orang Rimba ke tempat lain untuk menghilangkan kesedihan, kala ada anggota kelompoknya yang meninggalkan dunia.
“Kalau ado nang belangun, akeh susah mencari murid, jemput ke sana, cari ke sini, baru kami belajar,” urai aktor pemeran utama dalam pementasan teater dengan lakon “Guru kecil” di hadapan peserta Perkemahan Putri Nasional (Perkempinas 2012) di Kabupaten Sarolangun beberapa hari lalu.
Di samping kesibukannya sekolah dan mengajar anak-anak rimba, Beteguh juga tak melupakan aktifitas dia sebagai Orang Rimba. “Kalau akeh sudah mengajar, akeh membantu orang tua, nyadap karet, nyimas kebun,” ucap remaja yang gemar membaca berbagai jenis buku ini.
Kini di hari pendidikan yang merupakan peringatan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara yang merupakan tokoh nasional yang menggerakkan anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Beteguh dengan caranya, sudah menerapkan semangat yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara meski Beteguh sendiri belum mengenal sosok pahlawan nasional ini. (*)
Penulis : WISMAN WAZIR