iklan
Setelah lebih 9 (sembilan) tahun UUNo. 32 tahun 2004 berjalan,ternyata undang-undang tersebut tidak mampu memenuhi harapan masyarakat dan harapanpembuat undang-undang itu sendiri. Kelemahan-kelemahan yang terjadi pada masa berlakunya UUNo.22 tahun 2002 tetap terulang. Korupsi, kolusi dan nepotisme,  money politic semakin  menjadi-jadi, konflik antar daerah semakin menjamur dan tak kunjung terselesaikan. Tujuan untuk mewujudkan daerah yang lebih mandiri, serta pemilihan kepala daerah yang lebih demokratis, ternyata masih jauh panggang dari api. Daerah-daerah otonom, terutama daerah otonom baru hasil pemekaran,  jangankan bisa lebih mandiri, ternyata sampai sekarang masih sangat tergantung dari pemerintah pusat. Pemilihan Kepala Daerah yang diharapkan akan berlangsung secara lebih demokratis, ternyata semakin amaburadul dan money politic semakin menjadi-jadi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, 70% daerah otonomi baru, hasil pemekaran, ternyata gagal.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UUNo.32 tahun 2004, tujuan diberikannya otonomi seluas-luasnya kepada daerah adalah agar pemerintah daerah mampumeningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pelayanan umum dan meningkatkan daya saing daerah. Tujuan akhir dari pemberian otonomi luas kepada daerah tersebut adalah untuk mmewujudkan kemandirian daerah itu sendiri, dengan memanfaatkan potensi/kekayaan daerah, sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.

Selama masa berlakunya undang-undang yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sampai sekarang melalui proses pemekaran, di Indonesia terdapat 33 (tiga puluh tiga) daerah otonom provinsi dan lebih dari 500 (lima ratus) daerah otonom kabupaten/kota. Berdasarkan hasil survey yang telah dipublikasikan oleh beberapa lembaga survey, ternyata dari sekian banyak daerah otonom yang ada ditanah air, baik provinsi maupun kabupaten/kota, relatif sangat sedikit daerah otonom yang Pendapatan Asli Daerah (PAD) -nya di atas 10% dari APBD -nya. Kelangsungan hidup dari daerah-daerah otonom tersebut sangat tergantung dari bantuan Pemerintah Pusat, baik berupa Dana  Perimbangan, Dana  Alokasi Umumdan Dana Alokasi Khusus (DAK).Sedangkan apabila dilihat dari komposisi APBD masing-masing daerah, ternyata persentase terbesar diperuntukkan bagi belanja pegawai, belanja barang/jasa, dan sedikit sekali yang dialokasikan untuk belanja modal/pembangunan.

Di era otonomi daerah ini, korupsi merajalela dimana-mana, sejak level bawah sampai kelevel atas, suap/sogok telah merupakan suatu yang biasa. Untuk dapat diangkat jadi CPNS, mendapatkan proyek, pengurusan izin dll. memerlukan adanya uang pelicin.

Untuk memenangkan pemilihan calon Kepala Daerah /Wakil Kepala Daerah, yang berbiaya tinggi, pasangan calon  akan menempuh segala macam cara, untuk mendapatkan dana yang diperlukan, baik dengan menguras simpanan yang ada,  bahkan berhutang/menerima bantuan dari pihak ketiga. Semua ini terjadi tidak dengan cuma-cuma, tentu ada konpensasi yang diharapkan.Bagi pasangan calon yang menggunakan dana simpanan yang dimilki, tentu ingin mengembalikan uang yang telah dikeluarkan dan bagi pasangan calon yang menerima bantuan dari pihak ketiga, tentu harus ada kompensasinya. Semua itu akan membuka peluang untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Disamping hal yang dikemukakan diatas, masalah lain yang sering terjadi dalam penyelenggaran otonomi daerah ini adalah terjadinya konflik antar daerah, baik antara daerah provinsi dengan kabupaten/kota, ataupun antara sesama kabupten/kota. Konflik tersebut bisa berupa konflik kewenangan, konflik kepentingan dan  bisa pula berupa konflik perbatasan.
Masalah tidak efektifnya pengawasan Pemerintah Pusat terhadap daerah, dan masalah seringnya terjadi konflik kewenangan dan kepentingan antara provinsi dengan kabupaten/kota,sebagaimana dikemukakan diatas, pada dasarnya bersumber pada sistem otonomi daerah  yang kita jalankan berdasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut ketentuan Pasal 2 UUNo.32 tahun 2004, kepada daerah provinsi dan kabupaten/ kota, diberi hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal ini memberikan hak otonomi yang samakepada daerah provinsi dan kabupaten/kota, yang level dan kondisinya berbeda. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004, dinyatakan bahwa daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten/ kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Berdasarkan pasal ini jelas bahwa provinsi levelnya berbeda dengan kabupaten/kota. Disisi lain yang memiliki penduduk dan wilayah secara efektif adalah kabupaten/kota. Sedangkan provinsi tidak memiliki penduduk dan wilayah secara efektif. Wilayah dan penduduk provinsi adalah merupakan gabungan wilayah dan penduduk kabupaten/kota yang ada dalam wilayahnya. Hal inilah yang merupakan sumber konflik antara provinsi dengan kabupaten/kota, karena tumpang tindihnya kewenanangan yang dimiliki oleh masing-masing  daerah otonom.

Pada masa orde baru berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dianut sistem otonomi bertingkat. Daerah Otonomi Tingkat I diberikan kepada provinsi dan daerah otonomi Tingkat II diberikan kepada kabupaten/kota.  Daerah otonomi tingkat II yaitu kabupaten/kota, bertanggung jawab kepada daerah otonomi tingkat I, yaitu Provinsi. Dengan sistem bertingkat ini rentang kendaliantara pemerintah pusat dengan daerah tidak terlalu jauh, karena antara  daerah otonomi tingkat II dengan pemerintah pusat  terdapat provinsi. Dalam hal ini pemerintah provinsi dapat melakukan pembinaan dan pengawasan secara langsung terhadap kabupaten/kota yang ada dalam wilayahnya, karena gubernur disamping sebagai kepala daerah, juga merupakan kepala wilayah yang mewakili pemerintah pusat di daerah. Sehingga tidak semua masalah yang terjadi di kabupten/kota harus dibawa penyelesaiannya ke pemerintah pusat. Disamping itu, dengan sistem bertingkat ini, kemungkinan terjadinya konflik kewenangan dan kepentingan antara daerah tingkat I Provinsi dengan daerah tingkat II kabupaten/kota  sangat kecil, karena masing-masing daerah otonomi tersebut telah memiliki kewenangan yang jelas, sesuai dengan tingkatnya masing-masing.

Sejak diberlakukannya UUNo.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung. Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah secara langsung, dilakukan untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat, disamping untuk mencegah terjadinya politik uang, sebagaimana terjadi pada waktu pemilihan dilakukan oleh DPRD.Namun harapan ini tidak terwujud,  justru Pemilukada yang telah berlangsung selama 2 x kali masa jabatan kepala daerah,  yaitu 2004 s/d 2005 dan 2005 s/d  2009, telah menimbulkan banyak masalah.  Politik uang justru semakin menjadi-jadi, kekacauan/kerusuhan sering terjadi, tidak jarang terjadi bentrok fisik antara sesama pendukung, bakar membakar kantor KPUD. Belum lagi kejenuhan masyarakat terutama para pemilih, yang harus memberikan hak pilihnya berkali-kali. Disamping itu,telah terjadi pula pemborosan tenaga, pikiran dan anggaran. Anggaran penyelenggaraan Pemilukada cukup besar, baik biaya penyelenggaaran oleh KPUD yang berasal dari APBD masing-masing daerah, maupun  biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing pasangan calon. Apabila ditotal secara keseluruhan, untuk sekali penyelenggaraan  Pemilukada bisa mencapai ratusan milyar rupiah. Orang sering mengatakan bahwa demokrasi itu memang mahal, tetapi apabila bisa dihemat mengapa tidak, tinggal  mencari cara yang lebih efisien.

Melihat kenyataan yang dikemukakan diatas, akhir-akhir ini telah timbul suatu wacana baik dari pihak pemerintah, maupun dari sebagian pengamat, yang  menginginkan pemilihan Kepala Daerah, dikembalikan seperti sebelum berlakunya UU No.32 tahun 2004, yaitu oleh DPRD.Menurut mereka hal ini untuk mencegah terjadinya segala permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Disamping itu,mereka berpendapat bahwa konstitusi kita tidak mengharuskan Kepala Daerah dipilih secara langsung. Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hanya menyebutkan:”Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, dipilih secara demokratis”.

Solusi yang ditawarkan untuk menata masa depan otonomi daerah, adalah:
1.  Otonomi hanya diberikan kepada kabupaten dan kota.
Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan, yang bisa menimbulkan konflik kewenangan dan kepentingan antara provinsi dengan kabupaten dan kota, disamping untuk memperpendek rentang kendali antara Pemerintah Pusat dengan daerah, agar koordinasi, pembinaan serta pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah, bisa berjalan secara efektif, sebaiknya hak otonomi tersebut hanya diberikan kepada kabupaten dan kota. Sedangkan provinsi hanya berstatus sebagai suatu wilayah. Gubenur berfungsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, yang tugasnya mengkoordinir, membina dan mengawasi daerah otonom kabupaten dan kota yang ada didalam wilayahnya masing-masing.  Dengan cara ini diharapkan pengawasan akan bisa berjalan lebih efektif, karena rentang kendali antara provinsi dengan kabupaten dan kota relatif dekat, disamping jumlah daerah kabupaten dan kota yang diawasi relatif lebih sedikit. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya, cara ini akan lebih mendekatkan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan rakyatnya yang berada di daerahnya masing-masing.

Konsekuensi dari sistem ini, gubernur tidak lagi berfungsi sebagai Kepala Daerah,hanyasebagai kepala Wilayah yang mewakili Pemerintah Pusat di daerah. Dengan cara ini masalah-masalah yang timbul di daerah dapat diselesaikan ditingkat provinsi, sehingga tidak semua masalah harus dibawa kepusat untuk penyelesaiannya, sehingga Pemerintah Pusat bisa lebih fokus menangani masalah-masalah yang bersifat nasional. Konsekuensi lain dari sistem ini adalah dihapusnya DPRD tingkat Provinsi. Hal ini akan berpengaruh secara signifikan terhadap anggaran belanja daerah, tidak adanya DPRD ditingkat Provinsi, dihapusnya dinas-dinas di tingkat provinsi, akan sangat menghemat anggaran daerah, sehingga anggaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangunan infra struktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.    
2. Pemilu hanya diselenggarakan dua kali dalam satu periode.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, banyak masalah yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilukada selama ini, antara lain sering terjadi kericuhan, bentrok fisik antara sesama pendukung, politik uang, dan akhirnya sebagian besar bermuara di Mahkamah Konstitusi. Malahan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat itu, masih sering dipermasalahkan. Ikrar “siap kalah dan siap menang”, yang selalu didengung-dengungkan oleh pasangan calon, hanya tinggal dimulut dan diatas kertas semata, dalam prakteknya jauh panggang dari api. Oleh karena itu, tidak heran semakin santernya suara-suara yang menginginkan pemilihan kepala daerah diserahkan kembali ke DPRD, sebagaimana sebelum berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung, sebagai  implementasi dari kedaulatan ada ditangan rakyat, harus tetap dipertahankan, hanya saja cara penyelenggaraannya yang harus diperbaiki. Kita harus mencari suatu cara,agar masalah-masalah yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilukada selama ini dapat dihilangkan, atau setidak-tidaknya diminimalisasi. Pemborosan waktu, pikiran, tenaga dan anggaran harus dihilangkan. Kejenuhan masyarakat terutama para pemilih yang harus melakukan pemilihan secara berulang-ulang harus diatasi.

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi dampak negatif yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilukada selama ini adalah dengan cara meyelenggarakan hanya dua kali Pemilu dalam jangka waktu 5 tahun (satu periode), yaitu:
a.Pemilu legislatif, untuk memilih anggota DPR, DPD dan anggota DPRD, diselenggarakan serentak secara nasional.
b.Pemilu eksekutif, untuk memilih Presiden dan Kepala Daerah, diselenggarakan serentak secara nasional.

Untuk Pemilu legislatif tidak ada masalah, karena yang dilakukan selama ini sudah berjalan seperti itu. Sedangkan untuk Pemilu eksekutif, masalahnya akan terjadi dalam pemilihan Kepala Daearah.Apabila pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan serentak di seluruh tanah air, bersamaan dengan Pemilu Presiden, akan terjadi perpanjangan atau pengurangan masa jabatan sejumlah Kepala Daerah. Kemungkinan terjadinya perpanjangan masa jabatan seorang Kepala Daerah, sebenarnya tidak sulit untuk diatasi, karena hal itu dapat diatasi dengan menunjuk pelaksana tugas, sebagaimana yang berlaku dewasa ini. Yang justru sulit diatasi adalah pengurangan masa jabatan seorang Kepala Daerah, karena hal ini akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, terutama Kepala Daerah yang diperpendek masa jabatannya.

Masalah ini bisa diatasi dengan suatu terobosan, demi kepentingan bangsa dan negara, kita membuat suatu konsesus nasional yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Untuk pihak-pihak yang merasa dirugikan, terutama Kepala Daerah yang dikurangi masa jabatannya, dapat diberikan kompensasi yang layak dan patut.  Dalam membuat terobosan ini memang tidak mudah, akan banyak masalah dan kendala yang akan dihadapi, tetapi demi kepentingan masa depan bangsa dan negara, kita harus rela dan ikhlas mengenyampingkan dulu kepentinganpribadi dan golongan.InsyaAllah.


Penulis adalah Anggota Komunitas PELANTA Jambi/Pengamat Hukum dan Pmerintahan/Ketua STIE Muhammadyah Jambi)                           

Berita Terkait



add images