iklan
Pada moment bulan Agustus ini, yang bermakna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, penulis ingin mengungkapkan sekilas fakta fakta sejarah proses pempentukan NKRI,yang terdapat dari beberapa Dokumen Sejarah Indonesia, terutama yang terjadi pada sidang  BPUPKI, PPKI, dan PANITIA SEMBILAN, yang anggota nya adalah para tokoh Pendiri Negara Republik Indonesia.

Ki Bagus Hadikusumo Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1890-1954) salah satu anggota BPUPKI, dalam pidatonya pada sidang BPUKI tanggal 31 Mei 1945, menawarkan agar Islam layak menjadi dasar negara,karena agama ini membentuk potensi kebangsaan lahir dan bathin, serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala nyala. Ki Bagus salah satu Tokoh Islam yang sangat kuat keianginannya sebagai dasar negara adalah Islam.

Ir.Sukarno menyambut hangat gagasan Ki Bagus. Dalam Apresiasinya yang sangat tinggi terhadap Ki Bagus  dan gagasannya, dalam  pidato yang sangat bersejarah tanggal 1 Juni 1945, Sukarno menyebut nama Ki Bagus tak kurang dari sepuluh kali.Sukarno menawarkan dasar kebangsaan (nationale staat) bagi negara Indonesia yang akan dibentuk. Akan tetapi, negara Indonesia yang berdasarkan kebangsaan itu pun, menurut Sukarno hendaknya bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berulangkali Sukarno menekankan “Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber Tuhan”            

Perjuangan Ki Bagus melalui perdebatan sengit sampai pada sidang Panitia Sembilan yang merumuskan Pembukaan UUD 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta, rumusan Pancasila didalamnya sila pertama berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk Pemeluknya. Bagi Ki Bagus Hadikusumo,penegakan syari’at Islam adalah harga mati  yang tak bisa di tawar dalam mendirikan negara ini.

Pada sumber lain diceritakan juga,bahwa Sukarno menyampaikan kepada Bung Hatta,bahwa malam hari usai proklamasi Kemerdekaan, ia mendapat telpon dari kelompok Aktivis Mahasiswa,bahwa pukul 12, tanggal 17 Agustus, tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Sam Ratulangi, Latuharhary, dam I Gusti Ketut Puja, mendatangi asrama mahasiswa dan menyatakan keberatan dengan isi Piagam Jakarta.                

Dalam lobi-lobi yang dilakukan pada Ki Bagus,begitu kuatnya dan gigihnya Ki Bagus Hadikusumo mempertahankan gagasannya ini. Dalam dokumen sejarah, Sukarno dan Hatta, sampai tidak berani bicara langsung pada Ki Bagus Hadikusumo. Pada akhirnya dipilihlah Kasman Singodimejo untuk meyakinkan dan meluluhkan Ki Bagus agar mau menerima perubahan Piagam Jakarta, Kasman Singodimejo mengatakan ;”Kiai..., tidakkah bijaksana kalau kita sekarang sebagi ummat Islam yang mayoritas sekarang ini, sementara mengalah, yakni mengahapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita cita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat,adil,makmur tenang tentram, di ridhai Allah subhanahu wa ta’ala”. Dalam lobi untuk penghapusan tujuh kata-kata tersebut juga ikut K.H.Abdul Wahid Hasyim, Teuku Muhammad Hassan,dengan menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kemudian Kasman Singodimejo meyakinkan Ki Bagus, “sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa”.Pada akhirnya Ki Bagus dengan legowo menerima penghapusan tujuh kata tersebut demi kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa daripada kepentingan golongan.

Moh.Mahfud MD menulis dalam buku Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia, bahwa Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Mudzakir, merupakan tokoh tokoh Islam yang saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendak mempertahankan tujuh kata kata tersbut. Maka pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945,setelah melalui perdebatan sengit antara tokoh tokoh pendiri negara ini ditetapkanlah perubahan Piagam Jakarta dengan perubahan pada sila pertama dari Pancasila demi persatuan dan kesatuan bangsa yaitu dengan menghilangkan tujuh kata sesudah Ketuhanan. Empat wakil golongan Islam anggota PPKI, pagi hari sebelum sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dimulai, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Abdul Wasyim, Teuku Muhammad Hasan, dan Mr. Kasman Singodimejo. Demi keutuhan bangsa mereka bersepakat mengganti tujuh kata dalam Piagam Jakarta, dengan “Yang Maha Esa”
Ir.Sukarno pada pidato 1 Juni 1945 yang sangat bersejarah tersebut, Sukarno menawarkan dasar Kebangsaan (nationale staat) bagi negara Indonesia yang akan dibentuk. Akan tetapi , Negara Indonesia yang berdasarkan kebangsaan itu, hendaknya bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.. Berulang kali Sukarno menekankan “Hendaknya hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan”

Kemudian dalam sidang Konstituante, Arnold Mononutu seorang Nasrani tokoh PNI dalam pidatonya mengatakan ‘Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran injil. Ketuhanan Yang Maha Esa bagi kami, pokok dan sumber dari sila sila lain. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa,Pancasila akan menjadi suatu filsafat materialistis belaka”.

Ketika berbicara Piagam Jakarta,ada kesan yang muncul bahwa Piagam Jakarta, identik dan monopoli golongan Islam dan golongan Kebangsaan anti dengan Piagam Jakarta. Maka ketika Bung Karno meminta segenap anggota BPUPKI menerima Piagam Jakarta hasil kerja Panitia Sembilan dengan kalimat “ Saya minta dengan rasa menangis,rasa menangis,supaya sukalah saudara saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, supaya kita bisa lekas mennyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai “

Pada tanggal 2 Desember 1964,pada acara penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Syarif Hidayatullah,Jakarta, Sukarno menegaskan kembali pendiriannya, Negara yang berdasarkan Pancasila ini harus ber Tuhan. “karena itu,dengan keyakinan, sayaberkata,negara yang tidak menyembah kepada Tuhan,negara yang tidak ber Tuhan, akhirnya akan celaka, lenyap dari muka bumi ini.”

Itulah beberapa catatan yang penulis temukan dari beberapa dokumen sejarah tentang proses pembentukan negara yang kita cintai. Dalam rapat rapat BPUPKI,PPKI,Panitia Sembilan, terjadi perdebatan sengit dan tajam, antara tokoh tokoh pendiri negara Indonesia. Tapi akhirnya dengan memprioritaskan persatuan dan kesatuan bangsa,dari kepentingan golongan, mencapai kesepakatan dengan legowo, dan tidak memaksakan kehendak. Kita harapkan generasi sekarang dan pemimpin pemimpin bangsa ini, jangan melupakan sejarah dan meneladani nya.

(*.Penulis:Anggota PELANTA/Pengamat Hukum dan Pemerintahan/Ketua STIE Muhammadiyah Jambi.

Berita Terkait



add images