iklan

SEBAGAI wujud rasa syukur atas kemenangannya pasca perang melawan hawa nafsu melalui ibadah shaum dan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan, umat Muslim merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1434 H. Momentum ini, sering disebut tradisi syawalan atau lebaran. Tradisi syawalan atau sering disebut halalbihalal, dalam sejumlah literatur, diartikan sebagai acara maaf- memaafkan. Kata ‘‘lebaran‘‘, oleh masyarakat Jawa diartikan ‘‘leburan‘‘ atau ‘‘lebur‘‘. Itu dikaitkan dengan keyakinan peleburan dosa-dosa.

Melalui tradisi syawalan itu, diharapkan semua dosa yang telah dilakukan selama setahun bisa hilang, lebar (selesai), lebur, layaknya bayi yang baru saja lahir dari rahim ibunya. Bagi kerabat keraton (Yogyakarta, Pakualaman, Mangkunegaran), syawalan menjadi momentum acara ngabekten riyaya.

Istilah ngabekten ini berasal dari kata ‘‘bekti‘‘ atau berbakti kepada raja, sedangkan riyaya berasal dari kata ‘‘ari‘‘ atau hari dan ‘‘raya‘‘ yang berarti besar. Dasar tradisi itu dalam Islam adalah bersalaman sembari saling memaafkan. Tetapi karena proses akulturasi dengan budaya Jawa yang bercorak feodalistik, salaman itu berubah menjadi persembahan dengan cara mengatupkan kedua tangan di depan dada (Agus Wibowo, 2008). Menurut beberapa catatan sejarah, tradisi syawalan pertama kali dirintis oleh KGPAAMangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.

Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para penggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua penggawa dan prajurit, dengan tertib dan teratur melakukan ngabekten kepada raja dan permaisuri. Tradisi keraton itu selanjutnya ditiru oleh masyarakat petani Jawa, dengan nama sungkem atau sungkeman, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan sebagai sarana memohon maaf atau nyuwun ngapura. Tradisi Unik Menurut Agus Wibowo (2008), terdapat banyak hal unik dalam tradisi syawalan.

Seperti jamuan makan dengan menu utama kupat lepat dan kupat luar. Para pemerhati budaya Jawa sebagian sepakat bahwa kupat lepat dan kupat luar sebagai salah satu simbol. Pertama, kupat lepat menjadi simbol perjalanan ruhani manusia untuk kembali pada fitrahnya, atau sangkan paraning dumadi yang diwujudkan menyerupai lingga (penis) kaum laki-laki. Artinya, setelah sebulan berpuasa dan beribadah kepada Allah Swt, secara vertikal dosa-dosa manusia dihapus.

Selanjutnya, untuk menghapus dosa-dosa yang berkaitan dengan kemanusiaan atau sosial kemasyarakatan (horizontal), diwujudkan dengan bersalamsalaman atau sungkeman. Kedua, kupat luar menjadi simbol terlepas atau terbebasnya manusia dari noda dan dosa. Maknanya, dengan memakan kupat luar, diharapkan orang akan ingat bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari dosa atau kesalahan. Selanjutnya, mereka berkewajiban untuk saling meminta, atau memberi maaf agar kebebasan itu benar-benar sempurna.

Selain tradisi sebagaimana disebutkan, di beberapa daerah dilaksanakan tradisi munjung/ ater-ater atau weweh. Kata aterater, berasal dari bahasa Jawa yang artinya antar atau mengantar. Maksudnya adalah tradisi mengantar, mengirim, atau memberi sesuatu (umumnya berupa makanan) kepada tetangga dan saudara. Kearifan yang terangkum dalam tradisi syawalan sebagaimana diuraikan, sangat relevan diaktualisasikan dalam konteks kekinian.

Pertama, syawalan bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, dan mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Kedua, selain sebagai ungkapan syukur, tradisi aterater/ munjung juga bertujuan meningkatkan rasa persaudaraan antarwarga masyarakat. Ini tercermin dari kegiatan pertukaran menu masakan, artinya orang bawah dan menengah bisa merasakan masakan orang atas, demikian sebaliknya.

Lebih khusus lagi, tradisi ater-ater menjadi penanda bahwa momentum penting syawalan telah datang atau dimulai. Segenap pihak akan gembira dan bersuka-ria menyambut kedatangannya. Ketiga, menciptakan ketenteraman dan keharmonisan dalam kehidupan kenegaraan. Para elite politik atau parpol yang sebelumnya saling berseteru, meski sejenak, bisa berdamai dan melakukan rekonsiliasi.

Para menteri dan segenap pejabat negara di tingkat Pusat mengadakan sungkeman kepada Presiden, sementara di daerah sungkeman kepada Gubernur, Bupati atau Walikota. Hal ini sebagai wujud bakti dan penghormatan serta pelaporan diri bahwa dirinya masih konsisten pada amanat yang diembankan. Keempat, kejujuran untuk mengakui kesalahan, keikhlasan untuk saling memaafkan, serta jalinan pluralisme dalam tradisi syawalan, patut diterapkan dalam jalinan kebangsaan.

Pesan Ukhuwah Islamiyah
Jika kita cermati tradisi syawalan dengan berbagai bentuk aktivitasnya begitu sangat kentara adanya pesan yang sangat dianjurkan oleh syariat Islam, yaitu ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan atas dasar dan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam banyak teks baik dalam al-Qur’an maupun hadits Rasul yang menganjurkan kepada umat untuk saling mengikat persaudaraan. Antara Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah saudara, tanpa dibatasi dengan suku,ras, dan bangsa. Bahkan anjuran ukhuwah dalam Islam tanpa adanya sekat walaupun dengan non Muslim asal masih dalam koridor ajaran Islam.

Tardisi-religius yang dilakukan umat Islam dalam menyambut idul fitri seperti saling maafmemaafkan,halalbilhalal, ‘sungkeman’, dan saling antar makanan ke tetangga atau kerabat  , itu semuanya mengandung pesan ukhuwah Islamiyah yang perlu terus dilestarikan. Pesan ini begitu sangat aktual jika kita korelasikan dengan fakta akhir-akhir ini, di negeri yang kita cintai ini banyak terjadi perbuatan atau sikap yang tidak islami, arogan,angkuh, penuh kedengkian, dan seambrek amoral lainnya.

Dalam melakukan tradisi syawalan dan tradisi-tradisi lainnya yang mengandung nilai-nilai islami, memang hendaknya jangan sampai keluar atau bertabrakan dengan rambu-rambu syariat Islam. Antara lain, rambu-rambu itu, seperti ‘sungkeman’ jangan sampai identik dengan sujud yang dilakukan dalam shalat. Hal ini dapat terjerumus pada kesyirikan, penyekutuan Tuhan dengan makhluk-Nya.Satu perbuatan dosa besar yang tidak terampuni dalam pandangan Islam. Dalam Islam, sujud hanya boleh dilakukan untuk menyembah kepada Allah Azza wajalla.Begitu juga dalam berjabat tangan dalam bersilaturahim, hendaknya harus dihindari berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.Kalau demikian halnya, bukan halalbihalal namanya tapi halalbiharam.

Mari kita lanjutkan tradisi syawalan itu dan tradisi-tradisi religius lainnya dalam upaya mengislamkan budaya atau tradisi negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1434 H, mohon maaf lahir dan batin.


Penulis adalah Muballigh di Kuala Tungkal.


Berita Terkait



add images