iklan
Kawasan hutan di Provinsi Jambi yang dikuasai untuk berbagai kepentingan usaha saat ini telah mencapai 853.430 hektare. Termasuk di antaranya untuk hutan tanaman industri (HTI) dan lahan perkebunan besar lainnya. Padahal, luas di provinsi tersebut 2,1 juta hektare.

Berdasarkan data KKI Warsi, di Provinsi Jambi terdapat 18 perusahaan HTI definitif, dengan luas areal yang dikelola 663.809 hektare. Selain itu, ada pula perusahaan HTI yang telah mendapatkan areal pencadangan seluas 110.755 hektare.

Bahkan, masih ditambah dengan yang telah direkomendasikan gubernur seluas 79.066 hektare. “Seperlima luas hutan di Jambi dikuasai HTI,” kata Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat kepada Tempo, Jumat, 16 Agustus 2013.

Menurut Rakhmat, terjadi ketimpangan yang amat mencolok antara luas hutan yang diberikan untuk HTI dengan yang dikelola masyarakat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD).

Berdasarkan penetapan HPHD yang ditandatangani Gubernur Jambi Rabu lalu, 13 Agustus 2013, luasnya hanya 44.581 hektare. Itu tersebar di tiga kabupaten, yakni 12 kawasan di Kabupaten Merangin, dua wilayah di Kabupaten Bungo, dan tiga wilayah di Kabupaten Batanghari.

Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa, luas HPHD tersebut masih kurang sekitar 10 ribu hektare. Sebab, yang ditentukan adalah 54.978 hektare, yang tersebar di 25 desa di Provinsi Jambi. “Meski demikian, HPHD di Jambi adalah yang terluas di Indonesia,” ujar Rakhmat.

Rakhmat mengingatkan, ketimpangan yang mencolok antara luas hutan untuk industri dengan HPHD akan berdampak negatif, seperti terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Rakhmat juga menjelaskan, KKI Warsi lebih menginginkan sistem hak pengelolaan hutan adat ketimbang HPHD. Sebab, HPHD dibatasi waktu 35 tahun, sedangkan pengelolaan hutan adat tanpa batas waktu. “Ini diperlukan agar terjamin kesejahteraan masyarakat desa, terutama yang bermukim di sekitar hutan,” ucapnya.

Rakhmat memaparkan, sejatinya HPHD harus diikuti dengan dukungan pendanaan, peningkatan kapasitas masyarakat, penyelesaian tapal batas, serta penyederhanaan prosedur hak pengelolaan. Apalagi, di Indonesia, Provinsi Jambi merupakan salah satu pusat gerakan pengelolaan hutan berbasis mayarakat. Bahkan sejak 1990 telah berjalan pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat dengan bentuk hutan adat. “Bentuk ini telah diakui bupati di berbagai daerah, seperti Kabupaten Kerinci, Bungo, Merangin dan Kabupaten Sarolangun.”

sumber: syaipul bakhori/tempo.co

Berita Terkait



add images