KONFLIK atau gesekan-gesekan yang terjadi di Pilkada Kerinci disebabkan rakyat belum dewasa dalam berdemokrasi.
Pengamat Politik Jambi, Jafar Ahmad menyatakan, memang dalam proses demokrasi itu terjadi semacam interaksi antar orang-orang. Masalahnya, masyarakat saat ini sedang belajar berdemokrasi dan belum siap berbeda. “Mestinya dalam demokrasi yang baik, perbedaan itu disikapi dengan baik,” tuturnya.
Menurutnya, masyarakat biasa akan berbeda dengan tokoh politik. Misalnya jika tokoh politik berbeda pilihan atau berbeda sikap, komunikasi antar mereka itu biasa. Namun bagi masyarakat yang belum terdidik cenderung tidak bisa menerima perbedaan itu.
“Masyarakat kita belum terdidik untuk berdemokrasi, itu tidak hanya terjadi di Kerinci, di tempat lain juga demikian,” ujarnya.
Dengan semakin seringnya proses demokrasi ini, masyarakat akan sadar dengan sendirinya tentang hal itu. Lama-lama akan kembali normal dan demokrasi akan sempurna dan toleransi akan muncul. Makanya di perkotaan yang telah maju gesekan seperti ini tidak terlalu kencang dibandingkan dengan daerah yang belum maju.
“Di daerah yang belum maju, memang masyarakatnya belum dewasa, jadi belum bisa menerima kalau orang lain berbeda dengan mereka,” katanya.
Mengenai pemicu gesekan, masalahnya selalu dari perasaan dari tidak bisa menerima perbedaan. Itu salah satu sikap anti demokrasi, itu memang perlu dididik dengan melakukan demokrasi terus menerus. Munculnya juga karena adanya aksi yang menimbulkan reaksi.
“Contohnya, aksinya merobek baliho, menghina, menuduh dan berbagai macam aksi lainnya. Sehingga memunculkan reaksi, seperti yang terjadi di Koto Iman, salah satu kandidat sedang hala bihalal ada tim lain yang datang memasang spanduk. Secara etis inikan perlu dipertanyakan, apakah baik melakukan ini di tengah-tengah acara seperti ini sedang berlangsung. Kan lebih baik memasangnya setelah acaranya selesai atau lagi sepi. Tapi yang merusak mobil itu juga salah,” jelasnya.
Langkah untuk mengantisipasi konflik atau gesekan seperti ini, KPU sebagai penyelenggara harus membuatkan peraturan ketat agar gesekan ini tidak terjadi. Misalnya ada aturan yang melarang jangan sampai ada kandidat membuat posko terlalu banyak sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk yang lain.
“Jika tidak adil ini juga bisa menimbulkan gesekan. Selain itu kandidat juga dipanggil untuk memahami tipologi masa. Kasih kesempatan kandidat melakukan hal yang sama. Juga jangan sampai ada muncul persepsi diskriminasi antar calon, jangan sampai ada yang dipermudah dan ada yang dipersulit,” paparnya.
Sedangkan untuk menenangkan masa, yang lebih bisa maksimal itu calonnya sendiri, calon yang harus turun langsung. Karena masa-masa yang melakukan hal-hal anarkis ini masa yang di bawah, kalau tim sukses yang menjadi ring satu dan ring dua itu pasti tidak melakukan itu.
“Jadi itu harus diperingatkan, kandidat itu mampu mengingatkan masanya agar tidak anarkis. Karena masa yang melakukan hal itu adalah masa yang memiliki loyalitas tinggi terhadap calon dan pasti ikut kata calon itu. Kalau tidak memiliki loyalitas yang tinggi tidak akan mau,” tukasnya.
Salah satu contoh calon menenangkan massanya, jika ada baliho yang dirobek biarkan saja. Kalau mau dipermasalahkan melalui jalan yang formal, melalui Panwaslu atau pihak kepolisian dan lainnya. “Tidak dengan melakukan dengan cara main hakim sendiri. himbauan itu bisa dilakukan oleh calon dan ini akan lebih efektiv,” katanya.
Semetara Panwaslu, sebenarnya mengikuti aturan yang dibuat oleh KPU. Sepanjang KPU menjalankan peraturan yang dibuatnya dengan baik, Panwaslu tidak akan masalah dan pesertanya juga akan begitu.
Terpisah, Nasuhaidi, Pengamat Politik Jambi lainnya juga mengatakan, terjadinya gesekan di Pilkada karena masyarakat secara umum belum siap untuk berdemokrasi.
“Gesekan terjadi juga karena dekatnya hubungn komunikasi, hubungan transportasi dan kekeluargaan. Jadi arenanya terlalu sempit untuk sebuah kompetisi dengan enam pasangan calon, sehingga mudah sekali gesekan itu terjadi. Masyarakat juga secara umum belum siap untuk berdemokrasi secara sehat,” katanya.
Untuk meminimalisir terjadinya konflik ini menurutnya bisa juga dengan merangkul para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat, tokoh pemuda serta organisasi kemasyarakatan lainnya.
“Karena di Kerinci tokoh-tokoh seperti masih dihargai dan mendapatkan tempat dimasyarakat. Tidak bisa hanya penyelenggara yang menangani itu. Semua komponen masyarakat harus diikut campurkan,” ujarnya.
Selain itu, pasangan calon memegang peran yang sangat penting dalam hal ini. Karena biasanya para pendukungnya sangat loyal kepada calon yang didukungnya tersebut. Bahkan saking loyalnya sampai kepada militansi.
“Tapi kalau militasi yang benar itu bagus, namun kadang ini ada militansi yang tidak benar. Jadi para calon sangat strategis fungsinya, misalnya saat memberikan wejangan kepada tim sukses, disampaikan jangan ada anarkis. Kemudian penyelenggara tentunya juga harus netral,” pungkasnya.
sumber: jambi ekspres