Sampai saat ini melakukan pencatatan nikah belum gratis. Meskipun pemerintah pusat sudah lama merencanakan untuk menggratiskan biaya nikah tersebut.
Aminullah, Kasi Bimas Islam Kemenag Kerinci saat dikonfirmasi mengatakan, program nikah gratis itu masih sebatas wacana. Walaupun begitu pihaknya siap melaksanakannya jika telah disetujui DPR RI.
Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jambi, Mahbub Daryanto menyatakan hal senada. Untuk menikah, sejatinya tak membutuhkan dana besar. Hanya dengan Rp 30 ribu, seseorang bisa menikah dengan sah dan tercatat dalam akta pernikahan yang ada di Kantor Urusan Agama (KUA) tempat dia bermukim.
Namun dalam prakteknya, bukan demikian yang terjadi. Masih banyak keluhan masyarakat akan tingginya biaya nikah. Hal ini harusnya menjadi perhatian bagi pemerintah. "Biaya nikah itu hanya biaya pencatatan itu saja. Sesuai PP 47 itu cuma Rp 30 ribu," kata, Selasa (24/9).
"Itu SOP-nya dia daftar. Lengkapi syarat-syarat dari kepala desa dan lainnya semuanya didaftarkan dan kemudian diumumkan selama 10 hari. Setelah itu, kalau tak ada yang komplain soal status kedua belah pihak yang mau penganten, baru nanti diberikan nasihat perkawinan dan nikahnya itu di KUA dicatatnya," sambungnya.
Dia mengatakan, tradisi masyarakat Jambi, enggan melakukan pencatatan di KUA. Lebih banyak mereka mengundang petugas pencatat pernikahan dari KUA ke rumahnya untuk menyaksikan dan melakukan pencatatan nikah di rumahnya.
Hal itu terkadang membuat orang harus mengeluarkan biaya lebih. Sehingga, bukan lagi Rp 30 ribu yang harus dibayarkan ketika ingin mencatat pernikahannya. "Kalau diluar itu ya itulah kita serba susah. Karena tradisi di masyarakat kita kan masih mau mengundang ke rumah, tidak mau dicatat di KUA. Maunya petugas datang ke rumah mencatat saat dilakukan pernikahan," katanya.
"Soal wali kan yang menikahkan orang tuanya lah. Cuma kan mereka kepingin petugas datang mencatat kesana, disuruh baca nasihat perkawinan, baca khutbah nikah, suruh baca doa, sementara di SOP-nya tak ada begitu. Yang 30 ribu itu semua prosesnya di KUA. Kalau undang ke rumah itu di luar kebijakan kami," jelasnya.
Hanya saja, dia menegaskan, kepala KUA tak boleh mematok biaya pernikahan jika ada yang memintanya datang ke rumah. Dia mengecam keras jika ada oknum atau kepala KUA yang melakukan hal itu. "Cuma kepala KUA tak boleh meminta lebih dari 30 ribu. Tinggal keikhlasan kepala KUA dan penghulu mau tidak diajak ke rumah. Kalau tak mau masyarakat takutnya marah pulak. Selama ini kan tradisinya masyarakat begitu, datang ke rumah," ungkapnya.
Disamping itu juga, kata Mahbub, ada orang yang meminta jasa orang lain untuk mengurusi pencatatan pernikahan. Sehingga, bisa disebut melalui calo. Jadi, dana untuk calo itu lah yang besar. "Itu di luar kewenangan kita. Karena itu kan mengundang. Lalu yang kedua mereka kadang daftar lewat kepala desa, lewat ketua RT, lewat orang-orang yang bukan bersangkutan. Sebaiknya, yang bersangkutan datang atau orang tua yang bersangkutan datang ke kantor," tegasnya.
Jika ada oknum atau Kepala KUA yang meminta dana untuk pencatatan pernikahan dengan cara mematok, maka itu bisa dikatakan suap. "Kalau lebih dari Rp 30 ribu itu sudah masuk gratifikasi. Jadi besarnya biaya itu karena pakai calo juga, ya makanya tak bisa kita menetralisir semuanya. Kalau ada kepala KUA yang meminta lebih dari Rp 30 ribu secara terang-terangan ya itu gratifikasi dan tak dibenarkan. Malahan sebenarnya, menurut aturannya mengajak petugas ke rumah juga tak dibenarkan," ungkapnya.
Jika memang ada oknum petugas atau Kepala KUA yang mematok harga untuk pencatatan pernikahan lebih dari Rp 30 ribu, katanya, silahkan laporkan kepada pihaknya. "Silahkan laporkan ke saya. Cuma kan soal nikah di rumah itu kan soal kebijakan kepala KUA, mau tidak dia datang ke rumahnya. Masyarakat kadang kan mau minta pelayanan lebih, cuma soal lain diributkan. Disuruh baca doa, khutbah nikah, nasehat perkawinan itu kan tidak ada dalam SOP. Kita hanya mencatat. Jadi yang menikahkan itu wali masing-masing, KUA hanya datang untuk mencatat, benar tidak walinya yang menikahkan," katanya.
"Negara kan ingin melihat dan menyaksikan. Kalau SOP-nya kan di KUA diperiksa dulu, benar tidak walinya, perempuan atau laki-laki yang akan nikah ini benar tidak yang ini. Makanya ada durasi 10 hari untuk mengumumkan. Karena takut yang disampaikan itu tak benar, apakah sudah beristri, apakah sudah bersuami, atau janda atau nikah dibawah tangan," tambahnya.
"Yang penting kalau masyarakat merasa diberatkan silahkan lapor. Kita sangat siap untuk menerima laporan, kapan saja silahkan. Namun jangan buat fitnah. Kalau ada kasus si A dan si B kawin dikenakan biaya sekian, atau ada yang memaksa. Tak dibenarkan kepala KUA menyetok harga," tandasnya.
Sementara itu, hingga saat ini KUA di Tanjab Timur masih menerapkan biaya pernikahan bagi calon penganten (caten) sebesar Rp 30 Ribu. Hal ini diungkapkan Pymt Kakemenag Tanjab Timur, Zeifni Ishaq melalui Humas, Abdul Aziz kemarin (22/9).
"Sesuai Peraturan Menteri Agama dikenakan biaya Rp 30 Ribu untuk biaya nikah," jelasnya.
Dia menegaskan tidak ada penggratisan biaya pernikahan bagi caten yang akan melangsungkan pernikahan.
"Biaya Rp 30 Ribu adalah biaya pencatatan nikah," bebernya.
Sementara itu, lanjutnya mengenai syarat-syarat menikah bagi masyarakat sipil antara lain, fotocopy KTP dan Kartu Keluarga, surat pernyataan belum pernah menikah dengan materai Rp 6000, surat keterangan untuk menikah dari kelurahan setempat, pas foto 2x3, bagi duda/janda harus melampirkan surat talak/akta cerai dari Pengadilan Agama (PA).
"Harus ada izin bagi caten laki-laki kurang dari 19 tahun, caten perempuan kurang dari 16 tahun, dan laki-laki yang ingin berpoligami," bebernya.
sumber: je