iklan
MUSIBAH bertubi-tubi menimpa negeri ini. Sejak akhir tahun lalu, hingga kini kita menyaksikan, mendengar, bahkan mengalami langsung terjadinya bencana atau musibah. Banjir, tanah longsor, gunung meletus, kebakaran,dan sebagainya, mendera di mana-mana. Korban jiwa dan kerugian harta benda sudah terhitung lagi. Pertanyaannya bagaimana kita menyikapinya ? Inilah yang perlu mendapat respon dan jawaban dari semua unsur baik pemerintah, ulama maupun rakyat negeri ini.

Sebagai Peringatan


Musibah bisa menimpa siapa saja. Yang berbeda bagaimana menyikapi musibah itu. Bisa saja musibah itu adalah ujian, tapi bisa juga itu adalah azab Allah karena kemaksiatan yang dilakukan manusia.

Musibah atau bencana yang terjadi itu harus dijadikan sebagai peringatan bagi semuanya. Bagi penguasa, ini adalah peringatan keras kepada mereka karena tidak melakukan tugasnya dengan benar dan sungguh-sungguh.Sebagai penguasa, tugas utama mereka adalah melakukan ri’âyah, pelayanan dan pengaturan terhadap urusan rakyat. Namun tugas ini justru banyak diabaikan. Mereka lebih sibuk dengan urusan mereka sendiri. Kalau pun melakukan ri’âyah, hanya dilakukan ala kadarnya, hanya untuk menampakkan seolah  dia telah berbuat sesuatu. Atau hanya didorong untuk menaikkan popularitas semata, agar terpilih lagi pada pilkada mendatang atau mendapatkan  jabatan yang lebih tinggi.

Tapi persoalan bencana itu seperti banjir memang pelik dan tidak mudah. Sepelik dan sesulit apa pun, itu adalah persoalan yang harus diselesaikan oleh penguasa. Bukankah persoalan itu sudah mereka ketahui sebelum mereka menjadi penguasa? Bahkan saat kampanye, mereka berjanji menuntaskan persoalan tersebut.  Mereka harus ingat, bahwa mereka dipilih, diangkat, dan digaji untuk melaksanakan tugas itu.
--batas--
Jika para penguasa sungguh-sungguh, persoalan-persoalan masyarakat termasuk banjir itu bisa diatasi.  Dana tersedia, SDM yang ahli banyak, bahkan kekuasaan juga di tangan. Dengan itu semua, mereka bisa melakukan langkah-langkah menyeluruh untuk mencegah terjadinya bencana yang selalu terjadi.

Namun jika tidak mampu, lebih baik mereka mundur dari jabatan itu. Sungguh hisab atasnya di akhirat akan sangat berat atas kelalaian dan ketidakseriusan mereka dalam menjalankan tugas itu.

Selain peringatan bagi penguasa,juga menjadi peringatan bagi seluruh rakyat.  Peringatan kepada mereka agar tidak melakukan berbagai perbuatan yang memberikan andil terjadinya bencana termasuk banjir,longsor,dan lainnya. Semua perilaku itu harus diakhiri.

Di samping itu, rakyat juga harus membuka mata terhadap penguasa mereka. Jangan lagi memilih penguasa yang abai mengurus rakyatnya, bahkan menambah penderitaan rakyat yang sudah menderita.

Ulah Manusia


Dalam perspektif akidah, tidak ada musibah yang menimpa manusia kecuali dengan izin Allah. Dalam perspektif akidah pula, terjadinya musibah tidak bisa dilepaskan dari ulah manusia sendiri. Bahkan, tindakan dan perilaku manusia itulah yang mengundang datangnya musibah.  Allah SWT menegaskan dalam al-Qur’an  surat al-Syura ayat 30: “Wamâ ashâbakum min mushîbat[in] fabimâ kasabat aydîkum wa ya’fu ‘an katsîr”, (dan musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu).

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa penyebab terjadinya musibah itu adalah tindakan dan perilaku manusia.Tindakan dan perilaku seperti apa yang menjadi sebab datangnya musibah itu?Tidakan dan perilaku maksiat. Demikian penjelasan para mufassir tentang ayat itu. Ini juga banyak disebutkan dalam beberapa ayat lain, seperti al-Rum ayat 41, al-Nisa’ ayat 62, al-Maidah ayat 49, dan lain-lain.

Jadi pendapat yang mengatakan banjir di Jakarta akibat maksiat Tahun Baru di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin dan Bundaran HI, berarti benar?. Jawabannya : Ya, itu salah satu bentuk kemaksiatan. Jika kita berbicara kemaksiatan, maka spektrumnya sangat luas. Semua bentuk pelanggaran terhadap syariah adalah kemaksiatan. Sementara cakupan syariah meliputi seluruh aspek kehidupan, baik dalam sistem pemerintahan, ekonomi, pergaulan pria-wanita, pendidikan, sistem sanksi, dan lain-lain.

Jadi yang namanya kemaksiatan bukan hanya korupsi, suap-menyuap, zina dan riba tetapi  menetapkan hukum selain Allah adalah kemaksiatan. Tetapi pelanggaran terhadap semua ketetapan syariah itu  merupakan kemaksiatan dan pelakunya  berhak ditimpa musibah.

Dalam al-Maidah [5]: 49, setelah diperintahkan untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah SWT turunkan, tidak mengikuti hawa nafsu orang kafir, dan waspada terhadap tipu daya mereka yang memalingkan umat Islam dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT, kemudian ditegaskan: Fa in tawallaw fa’lam annamâ yurîdul-Lâh an yushîbahum bi ba’dhi dzunûbihim, (jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka). Ayat ini tegas menyatakan bahwa musibah itu ditimpakan karena berpaling dari syariah.

Bertaubat dan Ikhtiar


Bencana atau musibah yang bertubi-tubi yang menimpa manusia di negeri ini tentu menuntut kita untuk segera bertaubat kepada Allah SWT. Seperti disebutkan dalam QS al-Rum [30]: 41 ditegaskan bahwa kerusakan yang terjadi akibat kemaksiatan yang dilakukan dimaksudkan agar manusia bertaubat: La’allahum yarji’ûn, agar mereka kembali. Artinya, la’alalhum yatûbûn, agar mereka bertaubat.

Dalam konteks Indonesia, kemaksiatan itu begitu kentara. Kemaksiatan kecil hingga kemaksiatan besar terjadi di mana-mana. Dan itu dilakukan oleh individu, kelompok, hingga negara. Bagaimana orang begitu santainya melanggar ketentuan Allah di tempat umum, membuka aurat, tidak shalat, aksi kriminal, berbohong,korupsi,berzina, memakan riba, dan sebagainya. Lebih dari itu begitu tenangnya para penguasa negeri ini melaksanakan hukum-hukum kufur di semua bidang, baik ekonomi, sosial, budaya,politik, pemerintahan, dsb tanpa takut sedikitpun kepada Allah SWT. Betapa bangganya orang-orang di parlemen menjadikan dirinya pembuat hukum—yang berarti menyaingi Allah SWT. Ini adalah kemaksiatan besar karena dampaknya kepada umat semuanya.

Oleh karena itu, kerusakan akibat kemaksiatan manusia harus dihentikan. Jalannya dengan taubatan nasuha yakni menyesalinya dan mohon ampunan; berhenti tidak lagi melakukannya; dan bertekad kuat tidak akan mengulanginya lagi di masa datang serta diiringi dengan melakukan perbaikan baik terkait dengan sesama atau terhadap kerusakan yang ditimbulkan.
Hal itu harus disertai usaha/ikhtiar secara manusiawi bagaimana mengatasi masalah musibah ini dengan bantuan para pakar dibidangnya masing-masing. Yang lebih penting adalah kembali kepada aturan ilahi dan meninggalkan segala jenis kekufuran dalam segala bidang.

Insya Allah jika taubatan nasuha dan ikhtiar sudah dilaksanakan, Allah akan menurunkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya di muka bumi ini.

Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan. Domisili di Kuala Tungkal, Tanjab Barat.

Berita Terkait



add images