iklan
BAGAIMANAKAH tepatnya menggambarkan sosok perempuan Indonesia ? Pemimpin pada zaman dulu pada umumnya di tentukan oleh kekuatan fisik, keahlian dalam perkelahian. Bila dia seorang perempuan maka kualitasnya adalah kecantikan dan daya tariknya ( contoh Ken Dedes, Cleoptra ). Diyakini pada masa - masa itu daya tarik merupakan salah satu alasan seseorang untuk dapat menjadi pemimpin. Namun sejarah juga mencatat Cleopatra pengaruh politiknya tidak hanya karena kecantikan fisik semata. Ia juga di kisahkan punya kharisma, kecerdasan, militansi, ambisi dan kemampuan melobi yang jitu.

Kiprah perempuan Indonesia telah melalui perjalanan panjang. Bermula dari kepemimpinan Ratu Syafiatuddin yang memerintah selama 34 tahun di Kesultanan Aceh Darussalam ( 1641- 1675 M ). Kemudian para srikandi bangsa yang langsung memimpin pasukan maupun komunitasnya melawan penjajah sebut saja di antara nya Cut Nyak Dien (Aceh), Chirstina Martha Tiahahu ( Maluku), Walanda Maramis (Minahasa),  Putri Selaras Pinang Masak (Jambi) sampai Dewi Sartika dan Kartini.

Kalau bukan sebagai pemimpin perempuan harus mampu sebagai orang pandai bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya. Kehadiran Kartini dalam pentas perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh hak haknya secara adil dan seimbang adalah berkah sejarah.

Seolah jembatan emas, Kartini berhasil membawa Gelapnya tuduhan terhadap sifat dan perilaku perempuan kepada terang tentang bernilainya perempuan. Jejak Kartini memang tidak secara otomatis melapangkan langkah perempuan untuk bebas dan aman dalam berkiprah. Sejarah mencatat masih juga ada luka, derita dan urai air mata yang menimpa kaum perempuan di Indonesia. Warisan perjuangan Kartini cukup menjadi pemantik spirit dan harapan baru bagi perempuan Indonesia.
--batas--
Pertanyaan kita apakah dengan spirit itu lantas telah memudahkan perjalanan kita setelah para pendahulu ? Dari titik Habis Gelap Terbitlah Terang. Apakah jalan yang kita tapaki menjadi mulus ? Kenyataannya betapa masih banyak bukit karang terjal yang harus dilewati oleh kaum perempuan. Kebangkitan perjuangan yang menuntut persamaan hak dan keseimbangan peran antara laki dan perempuan senyatanya adalah fenomena universal.

Gerakan menggugat dan mempertanyakan ulang tentang dominasi kaum laki laki itu kemudian mengerucut dalam istilah feminisme. Dalam arti luas feminisme sekurang kurangnya bersumbukan tiga hal mendasar. 

Pertama, ia merupakan pengalaman hidup, sebab ia tidak terlepas dari sejarah munculnya yaitu dari masyarakat yang mengistimewakan posisi laki laki (patriaki). Kedua, ia adalah alat perjuangan politik bagi kebebasan manusia secara umum. Dalam tilikan kesadaran feminisme, perempuan ingin melepaskan diri dari penindasan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang selama ini dialamnya.

Ketiga, feminisme sebagai intelektual. dari sudut ini feminisme adalah gerakan yang memberikan pemahamam tentang kegidupan sosial, dimana perempuan itu tinggal, kekuatan apa yang dapat dilaksanakan untuk melakukan perubahan ke arah perbaikan nasib perempuan dan untuk mengetahi apa yang harus di perjuangkan. Sekalipun masih terasa minimal. lahirnya UU No 10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif yang menetapkan kuota keterlibatan perempuan. Bak jamur di musim hujan, kini kita menyaksikan sejumlah perempuan.

Namun merajut nasib mengubah takdir masih juga menyisakan cerita miris dan menyesakkan. Keterlibatan  perempuan di panggung politik masih belum mampu menjadi dimano yang mampu menyedot energi positif untuk perbaikan kultur demokrasi di negeri ini. Dengan luka yang sangat pedih kita menyaksikan para politisi perempuan ikut tersedot pada pusaran permainan politik pragmatis-transaksional. Atau kita masih menemukan ketidakcerdasan perempuan, masih bergaungnya saling menjatuhkan di antara politisi perempuan.

Sentimen pribadi masih di gadangkan antara para organisatoris perempuan bahkan adanya sikap kerdil para pekerja politik terhadap politisi perempuan yang potensial. ( Saat ini kita tidak mempunyai  pemimpin politik, yang cerdas iman dan cerdas ilmu kita baru punya pekerja politik dengan ego pribadi yang sangat kental ).

Penulis adalah Ketua Forum Pemberdayaan Perempuan Provinsi Jambi dan Anggota PELANTA

Berita Terkait



add images