iklan
Ratusan ribu hektar lahan di Provinsi Jambi saat ini hak pengelolaannya dikuasai sejumlah pihak. Hal ini diakui Gubernur Jambi kala membuka Musyawarah Besar Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Kamis (30/1).

“Saat ini hutan adat sebanyak 34 lokasi dengan luas total 9.400 ha, hutan tanaman rakyat yang sebelum tahun 2009 tidak ada sekarang sudah mencapai 3.400 pemegang izin dengan luas areal pencadangan sekitar 679.400 Ha,” katanya.

Sementara hutan kemasyarakatan dan hutan desa terdapat 81 pemegang izin, dengan luas areal kerja sekitar 240.500 ha. “Dan 26 lembaga desa pemegang hak pengelolaan hutan dengan luas areal kerja sekitar 153.100 ha,” tambahnya dalam kegiatan yang dihadiri Ketua Komnas HAM Siti Nurlaila, Perwakilan Pemerintah Sumatera Barat, Para Akademisi dan Aktivis lingkungan.

Dijelaskan Gubernur, Provinsi Jambi dijadikan salah satu pusat gerakan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia dimana sejak tahun 1900-an. Hal ini menciptakan yang namanya hutan adat bagi Suku Anak Dalam. “Bentuk ini telah diakui oleh para Bupati di berbagai Kabupaten diantaranya, Kabupaten Kerinci, Bungo. Merangin dan Sarolangun. Hutan adat menjadi salah satu penyelamat ekosistem hutan Jambi,” ujarnya.

Dilanjutkan Gubernur pasca putusan Mahkamah Kontitusi (MK) nomor 35 tentang hutan adat dibutuhkan kebijakan-kebijakan baru, yang terkait dengan hutan adat. Tujuannya agar putusan MK tersebut dapat diimplementasikan di tingkat tepat.
--batas--
Dikatakannya, jika membicarakan soal pengelolaan lingkungan hidup, ada 3 hal yang harus diperhatikan. Diantaranya, degradasi lahan dan hutan, penurunan kualitas air sungai dan sebaran wilayah banjir, sebagaimana diangkat dalam penyusunan Status Ligkungan Hidup Daerah Tahun 2012, yang mendapat penghargaan dari Kementrian Lingkungan Hidup.

“Laju deforestasi dan degradasi hutan menurun, dari 3,5 juta hektar per tahun pada  periode 1998-2003, menjadi 450 ribu hektar per tahun pada periode 2011- 2012. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan moratorium penerbitan izin baru, konversi hutan alam primer, dan lahan gambut, konversi hutan, penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan, pembalakan liar, pelepasan dan penggunaan kawasan hutan non prosedural dan penyelesaian konflik tenurial lahan hutan,” jelasnya.

Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangku Subroto memuji penanganan konflik yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jambi terhadap penanganan konflik Suku Anak Dalam (SAD) dengan PT.Asiatic.

Disampaikannya bahwa Suku Anak Dalam yang ada di PT.Asiatic tersebut adalah Suku Anak Dalam yang telah menetap. “Jika kita bicara tentang Suku Anak Dalam atau orang rimba atau masyarakat adat, maka kita berbicara dengan spektrum yang luas dan saya meminta kepada para pembuat kebijakan untuk dapat bertindak dengan bijaksana dan berhati-hati. Dan penanganan masalah PT.Asiatic ini contohnya sangat baik dan dapat dijadikan sebagai contoh model bagaimana menyelesaikan persoalan konflik yang serupa,” jelasnya.

Kuntoro juga menjelaskan bahwa Provinsi Jambi telah mendahului membuat peraturan daerah yang mengatur tentang hal ini yaitu Perda no 5 tahun 2007. “Provinsi Jambi telah mendahului untuk membuat Perda ini dan Perda ini dijadikan landasan untuk penerapan keputusan MK nomor 35/PUU-X/2012 tentang Kehutanan, hal ini mengartikan bahwa pemerintah provinsi Jambi tinggal mengaplikasikannya di atas perda sebelumnya,” katanya.

sumber: jambi ekspres

Berita Terkait