iklan GIGIH: Meski sudah lanjut usia namun Syamsuddin tetap gigih berjuang untuk menghidupi keluarganya, DEDI/JE
GIGIH: Meski sudah lanjut usia namun Syamsuddin tetap gigih berjuang untuk menghidupi keluarganya, DEDI/JE

DI TENGAH kerasnya kehidupan zaman,  perjuangan mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti mencari batu diserpihan pasir. Diperlukan ketekunan dan kesabaran walaupun berbunga sesuap nasi. Inilah yang dijalani oleh Syamsudin, 25 tahun mengayuh sepeda ontel menjadi seorang pemulung

DEDI AGUSPRIADI

DILIHAT dari perawakannya, Syamsuddin sepertinya sudah tidak sanggup lagi bekerja keras. Usia yang sudah menua (62 tahun, red) menjadi faktor utama. Namun siapa sangka, dengan tubuh rentanya itu, Syamsuddin masih mampu memanfaatkan sisa kekuatan yang ada untuk mengais rezeki, mencari sesuap nasi.

Kepada koran ini yang menyambanginya, kemarin, ia mengatakan, sudah 25 tahun mengayuh sepeda ontel sebagai seorang pemulung. Ini semua ia lakukan hanya untuk memenuhi perekonomian keluarganya. Tentu, ini merupakan sebuah pekerjaan maha berat  yang selalu ia lakukan. Artinya, sejak tahun 1991 ia suah mulai mengayuh sepedanya itu sampai dengan sekarang.

Saya sudah 25 tahun mas, selalu mengayuh sepeda, pekerjaan ini selalu saya lakukan untuk memenuhi perkenomian keluarga saya, dan kami selalu bersyukur atas rahmat dan nikmat yang telah diberikan Allah Swt kepada kami, kata Syamsuddin kepada Jambi Ekpres.

Setiap hari ia selalu berjalan menyusuri gorong-gorong aliran sungai Kota Jambi. Bukan hanya itu, ia juga selalu mencari tempat-tempat sampah untuk bisa mendapatkan benda-benda bekas yang masih layak dijual. Setelah itu dikumpulkan, dibersihkan untuk kemudian dijual dengan harga bervariasi.

Adapun benda-benda yang dikumpulkan adalah botol minuman yang berbahan plastik dan kaca setelah itu botol minuman yang berbahan kaleng yang harga perkilo hanya Rp 3000 sampai dengan Rp 5000. Perharinya Syamsuddin bisa mengumpulkan sekitar 4 atau 5 kilo.

Bahan yang saya cari itu, botol minuman yang berbahan plastik, kaca atau kaleng, yang jelas masih layak untuk dijual, perkilonya sebesar Rp 3 ribu sampau dengan RP 5 ribu, sehari saya bisa mengumpulkan 4 sampai dengan 5 kilo gram, ungkapnya.

Warga Kelurahan Bagan Pete Kecamatan Kota Baru Jambi ini rela bekerja menjadi pemulung untuk menghidupi tujuh orang anakanya, dua orang diantaranya adalah pria, sedangkan 5 orangnya lagi wanita.

Dari pada kami tidak makan, yang bisa saya lakukan, ya saya lakukan untuk mencari nafkah, yang penting halal, ucap Syamsuddin lagi.

Warga Jambi asal Kebumen ini  tidak pernah menyesal mengadu nasib ke Jambi meskipun masih jauh dari kecukupan.

Dengan kondisi keluarga saya seperti ini, saya masih tetap merasa nyaman dan betah tinggal di Jambi, katanya lagi sambil tersenyum.

Ditanya soal pendapatan, Syamsuddin mengaku dalam satu hari pendapatan  hanya sebesar Rp 20 ribu sampai dengan Rp 30 ribu. Tentu angka ini sangatlah kecil.

Apakah itu cukup untuk menghidupi keluarganya? Jelas itu tidak cukup mas, dengan uang Rp 20 ribu atau Rp 30 ribu hanya bisa untuk makan  satu hari mas, oleh karena itu untuk makan satu hari saja kami harus irit, kecuali kalau anak saya mendapat uang, barulah kami juga bisa mersakan masakan yang sedikit enak, ungkap Syamsuddin.

Saat ini Syamsuddin bersama istrinya menempati rumah papan yang ukuranyapun tidak begitu besar dan sangat memprihatinkan.

Saya tinggal bersama istri dan 3 anak saya, rumah saya kecil mas, papanya pun sudah banyak lapuk, ucapnya.

Tidak hanya itu saja, dari penuturan Syamsuddin, untuk mencari nafkah bagi keluarganya, ia harus menempuh jarak cukup jauh, bahkan sampai ke Batanghari dan Muarojambi dengan mengendarai sepeda miliknya.

Saya sering ke Bulian, Sengeti dan Sungai Duren, hanya mengayuh sepeda, ucap Syamsuddin lagi sambil tersenyum.

(*)

 

 


Berita Terkait



add images