iklan

JAKARTA-Keberatan sejumlah fraksi di Komisi II DPR terkait ketatnya PKPU (peraturan Komisi Pemilihan Umum) atas politik dinasti dinilai memiliki alasan politis. Dengan adanya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 269 daerah pada 2015, parpol kesulitan mencari tokoh segar dari daerah. Terutama, tokoh yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan incumbent.

 "Keberatan ini tidak hanya soal aspek dinasti politik, tetapi juga aspek keserentakan pilkada," kata Masykurudin Hafidz, deputi koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) saat dihubungi.

 Menurut Hafidz, politik dinasti saat ini secara sistemik berjalan dan berlaku di beberapa parpol. Pencalonan istri atau anak untuk menggantikan bapak yang berstatus incumbent terbukti efektif melanggengkan politik dinasti. Hal itu yang membuat parpol agak kelabakan dengan pelarangan yang diatur KPU. "Contohnya, Partai Golkar yang paling terdampak dalam ketentuan ini. Sebut saja, pencalonan dalam pilkada di Provinsi Banten dan Kalimantan Selatan," ujar Hafidz.

 Dia yakin parpol akan berpikir dua kali untuk menentukan calon kepala daerah. Jika sedikit saja diketahui bahwa calon memiliki hubungan keluarga dengan incumbent, pencalonannya berpotensi dibatalkan. Hal itu yang membuat sejumlah fraksi di Komisi II DPR keberatan dengan PKPU tersebut. 

 Hafidz menyatakan, JPPR mendorong KPU tetap memberlakukan PKPU tentang larangan politik dinasti. Sebab, aturan tersebut justru memberikan kesempatan yang sama kepada parpol dan calon untuk menggunakan jalur yang tidak melanggar aturan. "Tantangan juga bagi KPU untuk menyelesaikan aturan sekaligus membuktikan bahwa peraturan ini dibuat untuk tidak menghajar parpol tertentu," tandasnya.

 Sementara itu, komisioner KPU Arief Budiman mengatakan bahwa politik dinasti memang menjadi salah satu bahan pembahasan yang cukup panjang saat konsultasi dengan DPR. Pengaturan KPU mengenai politik dinasti merupakan terjemahan dari pasal 7 huruf (r) UU Pilkada.

 Pasal itu hanya mengatur calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan incumbent (petahana). KPU mendetailkan perintah tersebut dengan melarang anggota keluarga petahana mencalonkan diri kecuali adanya jeda satu kali masa jabatan, yakni lima tahun. Bentuk terjemahan KPU itulah yang dipersoalkan. "Sebagian kami diskusikan formal, itu bisa diterima. Namun, sebagian lagi agaknya susah," ujarnya kemarin.

 Salah satu contoh, KPU menentukan petahana tersebut adalah yang sedang menjabat atau pernah menjabat. Namun, berdasar masukan yang diberikan DPR terkait dengan definisi petahana, KPU mempertimbangkan untuk menerima usul tersebut. "Kami kembalikan dengan hanya yang sedang menjabat," katanya.  (bay/byu/c4/fat)


Sumber: www.jpnn.com

Berita Terkait



add images