iklan Agung Iranda
Agung Iranda

SEPEKAN terakhir berita mengenai ikon wisata provinsi Jambi menghiasi dinding media, baik yang online maupun cetak. Kita mafhum karena hiruk pikuk wisata Kerinci menjadi momentum paling berkesan mengingat pernyataan Arief Yahya menteri pariwisata beberapa waktu yang lalu menetapkan wisata Kerinci sebagai ikon wisata provinsi Jambi dan destinasi wisata nasional, ini menandai optimisme terhadap kekayaan wisata Jambi yang secara nature memiliki leading sector yang menjanjikan. Bak gayung bersambut, pembuktian tersebut harus dilihat dari kinerja dan keseriusan yang sinergis antara pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten Kerinci.

Magnet wisata Kerinci selalu menarik untuk dilihat dalam berbagai perspektif. Di Kerinci,  eksotisme wisata sejalan linear dengan budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat setempat.  Kearifan lokal semacam ini  menawarkan daya jual yang tinggi, terlebih saat ini selesainya proyek Pemerintah Kabupaten Kerinci yaitu mendirikan museum Alam Kerinci. Berbagai tradisi, benda pusaka hingga naskah kuno dijejalkan serta ditahbiskan secara rapi dan runut sebagai cagar kebudayaan Kerinci.

Potensi alam dan kebudayaan tersebut tidak boleh dibaca secara pasif, tugas pemerintah dan masyarakat melakukan rasionalisasi dengan langkah yang strategis. Implementasi tersebut jika merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Paturusi, seorang pakar Pariwisata; Maka pengembangan wisata adalah sebuah keputusan untuk menentukan masa depan dan nasib khalayak ramai. Tentunya konsekuensi logis dari sebuah keputusan besar adalah fokus pada tujuan dan tindakan alternatif pemerintah yang bersifat sistematis. Dari sini kita bisa membaca peluang tersebut dari berbagai terobosan, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, menyangkut akses transportasi; baik udara maupun darat, yaitu memperluas bandara Depati Parbo dan memperbaiki infrastruktur jalan raya, minimal akses dari Bangko menuju Kerinci. Dari Sumatera barat hingga Muko-Muko. Pada titik ini, minimnya APBD yang berkisar antara Rp 1,132 Triliun tidak mampu menambal infrastruktur yang rusak, solusinya pemerintah pusat harus menyiapkan anggaran khusus agar ini terealisasi.

Kedua, wisata berbasis masyarakat melalui keterlibatan aktif warga Kerinci; ada beberapa daya jangkau yang bisa dilakukan masyarakat, yang harus ditanam pertama adalah rasa kebermanfaatan dan kepemilikan (sense of belongness) masyarakat pada wisata. Edukasi sekaligus promosi harus dilakukan dua arah, yaitu kedalam internal masyarakat dan eksternal berupa informasi kepada masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Selanjutnya adalah konservasi lingkungan, interpretasi dan praktik masyarakat terhadap produksi yang akan diolah untuk mendukung pengembangan wisata. Keikutsertaan masyarakat oleh Arnstein, seorang pakar pariwisata menjadi syarat mutlak bagi daya tarik wisata. Menurutnya, Pernak- pernik wisata muncul dari ide dan inovasi masyarakat, bukan pemerintah. Ini sebagai upaya agar orientasi pengembangan wisata semata-mata menuju keberpihakan pada ekonomi dan kesejahteraan rakyat, terutama bertujuan menimalisir pengangguran dan kemiskinan. Jika kita belajar dari usaha mikro masyarakat di kawasan candi Borobudur, pendapatan pertahun berkisar Rp 140 miliar Rupiah, dan menerima Rp 8 juta per kapita. Bukan mustahil kita bisa mencapai cita-cita besar nan mulia tersebut.

Ketiga, menyangkut sumber daya manusia, Kita paham bahwa menyulap anggaran menjadi wisata global tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sekalipun bupati Kerinci adalah pakar pariwisata dan kenyang pengalaman. Ini persoalan sistem, sistem perlu ditopang oleh pegawai yang bermutu tinggi dan kapabel. Maka dari itu pemerintah perlu menyuplai tenaga ahli, para pakar wisata, dan beberapa sarjana lulusan studi pariwisata. Mereka yang mengerti persolan, strategi  serta substansi yang harus dilakukan. Jangan sampai proyek ambisius ini dijadikan lumbung korupsi bagi beberapa pejabat daerah terutama pejabat yang hanya diangkat lewat moment politik dan nihil pengetahuan mengenai wisata. Dari sini kita perlu menekan pengawasan dari pihak kejaksaan agar mengawasi anggaran dari hulu pemerintah pusat mengalir dengan tepat dan cepat ke hilir, yaitu wisata dan masyarakat.    

Keempat, Pengadaan biro dan agen wisata Kerinci di berbagai kota besar  Indonesia, Fungsinya sebagai media informasi dan guide bagi wisatawan yang datang silih berganti dari kota metropolitan. Hal ini sangat beralasan,  gaya hidup traveling sedang menjamur di kalangan masyarakat kelas menengah dan elit. Mereka butuh ruang alami untuk sejenak mengasingkan diri dari kesibukan dan kepenatan dunia kerja dan produksi. Dengan adanya biro dan agen wisata Kerinci di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan kota besar lainnya menambah harapan bagi wisata Kerinci dikenal luas, serta memancing baik wisatawan domestik dan mancanegara menjadi Kerinci sebagai pilihan wisata yang megah dan representatif. (*)

*Penulis Adalah: Agung Iranda, Mahasiswa Magister Psikologi, UGM. Ketua Umum Ikatan Pelajar mahasiswa Kerinci (IPMK) Yogyakarta 2011/2012

 


Berita Terkait



add images