iklan Muhammad Haramen
Muhammad Haramen

MUNGKINKAH lahan gambut dibudidayakan untuk perkebunan sawit ? Itulah tema workshop yang digelar oleh Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) di Jogjakarta, pekan lalu.

TEMA yang digagas oleh Gapki tersebut cukup menggigit. Terlebih, mendekati musim kemarau ini. Lahan gambut yang banyak memproduksi asap pada kemarau tahun lalu, menjadi tema seksi untuk diperbincangkan. Apalagi catatan koran ini, tahun lalu, ada  2000-an hektare lebih lahan gambut yang terbakar. Dan sekitar 1374 hektarenya berada di lahan perkebunan sawit. Banyak pihak menuntut agar budidaya sawit di lahan gambut dihentikan. Karena selain merusak lingkungan, juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat.

'Untuk apa hidup makmur, kalau tidak nyaman,' begitulah celetukan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Dr Jamhari, SP, MP pada forum workshop wartawan nasional di Hotel Alana, Jogjakarta, Selasa (26/4) ini.

Tapi dibalik ketidaknyamanan sesaat tersebut, harus diakui sawit banyak berkontribusi terhadap kemakmuran rakyat Indonesia. Catatan Gapki, sejak Januari - Februari 2016, sawit merupakan penghasil devisa terbesar, dengan produksi 33,5 juta ton per tahun.

'Saat ini 43 persen dari 11 juta hektare luas perkebunan sawit di Indonesia merupakan milik petani,' ungkap Sekretaris Jenderal Gapki, Togar Sitanggang.

Menurutnya, ada 7,9 juga orang yang saat ini bekerja di industri sawit ini. Dari jumlah tersebut diperkirakan ada sekitar 30 juta orang yang menggantungkan hidupnya kepada sawit.

'Ini belum termasuk orang-orang yang menggantungkan diri pada industri turunan kepala sawit seperti sabun, shampo, capuccino dan lain-lain,' tukasnya.

Dengan banyaknya manfaat yang dirasakan oleh industri sawit ini, dia mengkritik sikap pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak berpihak kepada industri primadona ini.

'Industri sawit adalah objek penderita. Contoh tahun 1990- 2010, terjadi deforesasi hutan 24 juta hektare Indonesia. Sedangkan di perkebunan sawit hanya 7,1 hektare, lantas kenapa yang dibicarakan hanya sawit saja,' tegas Togar.

Dia berharap industri yang penting bagi bangsa ini harus tetap dijaga keberlangsungannya. Dan didukung oleh semua pihak, termasuk pemerintah.

Dr Jamhari sendiri menambahkan, untuk menjaga kelangsungan industri sawit ini, hendaknya perusahaan sawit juga harus meminimalisir dampak lingkungan. Caranya dengan tidak membuka lahan dengan membakar.

'Usaha tani berkelanjutan di lahan gambut merupakan salah satu model pertanian yang berbasis kelestarian lingkungan,' tuturnya.

Saat ini, lanjutnya, dari sekitar 14,9 juta hektare luas lahan gambut Indonesia, 56 % -nya atau 8,3 juta hekter  masih tertutup oleh hutan alami dan primer. Lalu,  15% atau 2,2 juta hektare lahan gambut sudah dimanfaatkan untuk pertanian, yakni untuk kelapa sawit (1,5 juta ha) dan pertanian tanaman pangan dan hortikultura (0,7 juta ha). Lahan gambut lainnya (seluas 3,7 juta ha atau 25 %) saat ini berupa lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi semak belukar, dan 0,6 juta ha berupa lahan bekas tambang.

'Pemanfaatan lahan gambut harus disesuaikan dengan tipologinya, misalnya lahan potensial, bergambut, aluvial bersulfida dalam, gambut dangkal (‰¤ 75 cm) dapat ditata menjadi lahan sawah,' jelasnya. (bersambung)


Berita Terkait



add images