JAMBIUPDATE.CO, JAMBI - Dalam kurun waktu antara tahun 1856-1904, semangat perjuangan rakyat Jambi bertambah menggelora di bawah pimpinan Sulthan Taha Saifuddin. Hubungan dengan Inggris, Turki dan Amerika dipererat, perdagangan diperluas.
Tindakan Sulthan Taha tersebut menimbulkan kegusaran di kalangan Belanda yang berpusat di Palembang, sejak dibebaskannya Sulthan Ratu Ahmad Zainuddin.
Sulthan Taha juga berhasil memperoleh senjata menukarnya dengan emas, hasil hutan dan lain-lain dari Inggris dan Amerika. Senjata-senjata tersebut masuk ke Jambi melalui Kuala Tungkal, Siak, Inderagiri, Bengkulu, sedangkan mesiu dibuat sendiri.
Sulthan Taha berdua dengan Temenggung Mangkunegara membentuk Pasukan Sabilillah. Pasukan ini mendapat latihan istimewa dari para pelatih yang didatangkan dari Aceh.
Juga Sulthan Taha memerintahkan kepada rakyatnya agar tiap-tiap rumah supaya memiliki selaras bedil, dan menyimpan sebahagian bahan makanan di hutan-hutan untuk keperluan perang.
Di dalam perjuangannya berperang melawan Belanda, Sulthan Taha Saifuddin membagi Front perjuangannya yaitu (1)
Front Pertama dari Muara Tembesi sepanjang Sungai Batanghari sampai ke Tanjung Samalidu (Sumbar), dipimpin langsung oleh sang Sultan. Sebagai pembantunya diangkat Pangeran Diponegoro.
Front Kedua dari Muara Tembesi sampai Sarolangun, Bangko, Kerinci, di bawah pimpinan Temenggung Mangku Negara. Sebagai pembantunya diangkat Panglima Pangeran Haji Umar bin Pangeran Haji Yasir dan Depati Parbo.
Front Ketiga dari Muara Tembesi ke hilir, Kumpeh, Muara Sabak, dan Tungkal di bawah pimpinan Raden Mattaher sebagai pembantunya diangkat Panglima Raden Pamuk dan Panglima Raden Perang
Sebagai seorang Panglima, Sultan Thaha Saifuddin memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau berunding dengan pihak Belanda.
' Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan dengan Belanda pada intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap kedaulatan kesultanan Jambi,' ucap sejarawan Jambi, Junaidi T Noor.
Untuk menghadapi siasat licik Belanda melalui perjanjian yang dipaksakan, Sultan melancarkan perlawanan gerilya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya di bawah pimpinan hulubalangnya dalam tiga front itu. Selain itu, sikap tidak mau bertemu Belanda semakin memoles sikap politik Sultan dalam menggelorakan semangat perjuanggannya yang belakangan menimbulkan keraguan atas wafatnya Sultan di medan laga Betung Bedaro.
Alur cerita ini seperti pertanda takdir berakhirnya perlawanan Sultan. Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap dirinya dari Pangeran Ratu Martadiningrat, sedangkan Belanda menyikapi langkah itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun Sultan Thaha akan tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai Sultan. Oleh karena itu Belanda tetap melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tidak menyerah sampai titik darah penghabisan.
Nilai kejuangan Sultan ini tetap relevan bagi kita dalam pembangunan daerah di segala bidang, yaitu tanpa kenal menyerah terhadap be
