iklan Asriyadi, S. Sos. I
Asriyadi, S. Sos. I

SEJAK Jumat, 28 Oktober 2016, pasangan calon yang ikut dalam Pilkada Serentak 2017 resmi memasuki tahapan kampanye. Salah satu kewajiban para calon yaitu menyerahkan laporan dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi/kab/kota. Jika pasangan kontestan pilkada tidak menyerahkan laporan dana kampanye maka akan ada sanksi yang menanti berupa pembatalan sebagai pasangan calon.

Dana kampanye sangat penting bagi pasangan calon. Dana kampanye adalah sejumlah biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan pasangan calon atau partai politik, gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon untuk membiayai kegiatan kampanye.

Dalam Pasal 74  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 sumbangan dana kampanye dapat diperoleh dari partai politik, pasangan calon, perseorangan, dan badan hukum swasta.  

Batasan Dana Kampanye

Dalam peraturan ini tidak hanya mengatur asal sumbangan, lebih dari itu juga diatur batasan besaran sumbangan, seperti sumbangan dari perorangan Rp 75 Juta dan dari badan hukum swasta Rp 750 juta. Yang menyumbang pun harus mempunyai data identitas pribadi dan lembaga swasta yang jelas. Artinya, tidak sembarang perorangan atau lembaga yang bisa menyumbang. Untuk pertama kali, kebijakan pembatasan dana kampanye telah diintroduksi ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.

Tidak hanya besaran sumbangan yang dibatasi, besaran dana kampanye pun dibatasi dengan mempertimbangkan standar biaya daerah setelah diadakan rapat kesepakatan dengan tim pasangan calon. Pada Pilkada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sarolangun misalnya, batasan besaran dana kampanye sebesar Rp 30 Miliar.

Penetapan pembatasan pengeluaran dana kampanye dengan memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan kampanye, perkiraan jumlah peserta kampanye, standar biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan, cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik, dan manajemen kampanye/konsultan.

Pembatasan ini sebagai bentuk efisiensi dan efektivitas penggunaan dana kampanye. Dalam hal ini, pembatasan dana kampanye ditentukan berbasis setiap item kegiatan kampanye. KPU menentukan rincian item kegiatan kampanye yang dibiayai negara dan yang dibiayai setiap pasangan calon. Dalam konteks ini, KPU Provinsi/Kabupaten/kota tinggal menentukan berapa besaran biaya setiap kegiatan kampanye sesuai standar biaya daerah masing-masing.

Formulasi pembatasan dana kampanye yang dirumuskan diharapkan mampu menutup atau setidaknya mengurangi upaya manipulasi penggunaan dana kampanye melebihi ambang batas yang ditentukan. Dengan adanya pembatasan dana kampanye yang diatur secara jelas dan tegas melalui PKPU, kekhawatiran bahwa pilkada hanya ajang pertarungan orang-orang beruang tentunya dapat ditepis.

Lagi pula, hal ini juga merupakan langkah KPU untuk mendedikasikan perannya dalam mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang jujur dan adil money politic. Ketentuan ini setidaknya memiliki sejumlah dampak positif. Pertama, pelaksanaan pilkada diyakini akan berjalan lebih sehat. Sebab, persaingan tidak lagi mengedepankan banyaknya modal uang, tetapi seberapa besar pengaruh yang dimiliki dalam merayu pemilih. Sekalipun calon memiliki uang dalam jumlah besar, tetapi yang calon tidak dapat menggunakannya melebihi yang ditentukan sesuai dengan aturan perundangan. Pembatasan dana kampanye akan mendorong setiap calon lebih kreatif untuk mendekati pemilih, dibanding melakukan money politic.

Kemudian, siapa pun yang akan menjadi calon agar dikenal, maka mereka dipaksa berinvestasi sosial dan politik jauh sebelum pelaksanaan pilkada. Hal itu mesti dilakukan karena calon tidak lagi dapat mengandalkan baliho dan publikasi media dengan uang banyak yang dimilikinya, karena adanya pembatasan. Yang tidak kalah pentingnya, pembatasan dana kampanye akan mendorong setiap calon lebih kreatif, inovatif mencari cara untuk mendekati pemilih, dibanding hanya sekedar membagi-bagikan uang. Sehingga, masyarakat akan dididik untuk tidak lagi berpikir pragmatis dalam menentukan pilihan.

Audit Dana Kampanye

Pada tahap awal, paslon berkewajiban menyerahkan Loparan Awal Dana Kampanye (LADK) diikuti Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) untuk di audit oleh akuntan publik pada Februari 2017. Pada Pasal 39 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye bentuk dan mekanisme perikatan audit dana kampanye dalam pemilihan adalah audit kepatuhan. Namun lebih dari itu, dalam mengelola dana kampanye diharuskan calon untuk jujur sesuai dengan fakta yang ada.

Akuntan publik yang ditunjuk untuk keperluan audit pun diatur sangat jelas dalam Pasal 43 PKPU Nomor 8 Tahun 2015. Misalnya, tidak berafiliasi secara langsung dengan pasangan calon dan partai politik, dan bukan dari partai politik yang mengusulkan. Dalam pelaksanaan audit dana kampanye merupakan sebuah perikatan atestasi yang mengacu kepada Standard Profesional Akuntan Publik (SPAP) khususnya Standar Atestasi (SAT) 500 mengenai kepatuhan. Dalam melaksanakan auditnya, akuntan publik akan merancang dan menjalankan prosedur audit untuk memperoleh keyakinan memadai terhadap kepatuhan asersi pasangan calon dengan dibantu paslon dalam menyediakan semua catatan dan dokumen yang diperlukan.

Ida Budhiati, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, audit dana kampanye tak hanya menampilkan fakta tetapi juga dapat membuat opini tentang kepatuhan peserta pilkada. Kepatuhan terhadap undang-undang yang dimaksud seperti kepatuhan terhadap penyerahan laporan dana kampanye apakah tepat waktu atau tidak. Kemudian juga dari sisi sumbangan kampanye terkait dengan batasan maksimum dari perseorangan dan juga badan usaha.

Lalu, terkait dengan penyumbang dana kampanye. Apakah peserta menerima sumbangan dari pihak-pihak yang dilarang ketentuan undang-undang, misalnya menerima dana dari pihak asing, atau dana dari sumber anggaran negara seperti BUMN/BUMD.  

Pemberian Sanksi

Perkembanga regulasi dana kampanye perlu diapresiasi.  Dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2015 dan PKPU Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2015 pun ikut diatur mengenai sanksi bagi peserta pilkada yang melanggar. 

Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan Pasangan Calon Perseorangan dilarang menerima sumbangan melebihi ketentuan termasuk menggunakannya.

Sanksi yang diberikan tidak tanggung-tanggung yaitu pembatalan sebagai calon bagi pasangan calon kepala daerah. Tentunya sanksi yang diberikan berupa pembatalan sebagai calon ketika melakukan pelanggaran dengan menggunakan dana kampanye melebihi batas ketentuan. Kepastian ini diatur dalam Pasal 51, Pasal  52, Pasal 53, dan Pasal 54  PKPU Nomor 8 Tahun 2015.

Dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2016 kembali dipertegas Pasal 52 Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan Pasangan Calon Perseorangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 9 ayat (1), dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai pasangan calon. Pada Pasal 7 menerangkan batasan besaran sumbangan dari Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, perseorangan, dan pihak lain kelompok atau badan hukum swasta. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat satu larangan bagi pasangan calon memakai kelebihan besaran sumbangan yang diberikan. (*)

 

Oleh : Asriyadi, S. Sos. I (Komisioner Divisi Hukum, KPU Kabupaten Sarolangun)


Berita Terkait



add images