iklan Yulfi Alfikri Noer S. IP., M.AP
Yulfi Alfikri Noer S. IP., M.AP

WACANA tentang putra daerah akan selalu mencuat setiap kali dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan hal ini sama halnya dengan wacana pribumi atau non pribumi yang juga selalu hadir setiap pemilihan presiden.  Sebenarnya, istilah Putra Daerah bersifat netral. Tidak ada definisi buku terhadap istilah tersebut. Namun kalau didasarkan landasan hukum pemerintahan daerah  melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pengertian putra daerah dapat dibuat beraneka ragam. Namun, demi kepentingan demokrasi dan integrasi bangsa, pengertian putra daerah harus bermuatan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mengenal daerahnya dengan baik, (2) Mampu berbahasa daerah, (3) Mempunyai visi dan misi yang jelas untuk membangun daerah, (4) Dikenal oleh masyarakat  daerah , (5) Pernah tercatat sebagai penduduk dan tinggal di daerah.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti dari kata Putra Daerah itu pun sendirinya tidak ada, melainkan kata yang berdekatan ialah bumi putera yang memiliki arti anak negeri atau penduduk asli atau pribumi. Sejak akhir masa Orde Baru diskusi putra daerah versus bukan putra daerah hampir selalu menghiasi setiap pemilihan kepala daerah. Biasanya mengenai argument bahwa yang terbaik bagi sebuah daerah adalah memiliki pemimpin yang berasal dari daerah itu sendiri. Dalam teori Samuel P. Huntington, pernah mendefinisikan putra daerah menjadi 4 jenis. yaitu :

Putra Daerah Genealogis

Putra daerah genealogis terbelah lagi kedalam dua kategori yang kebetulan dilahirkan di daerah yang bersangkutan dari (salah satu atau kedua) orang tua yang juga berasal dari daerah tersebut dan mereka yang tidak dilahirkan di daerah tersebut tapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah tersebut.

Putra Daerah Politik

Yakni Putra daerah yang memiliki kaitan politik dengan daerah itu. Misalnya anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah tertentu yang sebelumnya tidak punya kiprah politik dan ekonomi daerah tersebut atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat yang oleh partainya ditempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan genealogis daerahnya.

Putra Daerah Ekonomi

Putra daerah yang kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya. Dalam konteks system politik dan ekonomi Indonesia, putra daerah politik dan ekonomi ini biasanya hanya berhubungan dengan daerah asalnya.

Putra Daerah Sosiologis

Yakni mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah asalnya tetapi juga hidup, tumbuh dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat di daerah itu.

Kategori sederhana ini bisa membantu kita membahas mengenai soal putra daerah dan bukan putra daerah supaya lebih layak dan relevan. Bahwa soal putra daerah atau bukan sebenarnya hanya perkara sekunder. Sementara yang lebih primer adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat.

 Issu putra daerah bukan hanya ramai pada saat pemerintahan Orde Baru, issu putra daerah sudah menjadi topic pembahasan. Dari yang kita lihat pemilihan Bupati, Walikota dan Gubernur, para calon dan wakilnya hampir seratus persen putra daerahnya masing-masing. Nyaris tidak sepadan jika seorang non Bali menjadi gubernur Bali atau orang non Aceh menjadi gubernur Aceh. Padahal Peraturan Undang-Undang Nomor 12 tanun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tidak mencantumkan syarat putra daerah bagi calon kepala daerahnya masing-masing.

Pola issu putra daerah memang dulu popular pada saat  jaman Orde Baru, lalu apakah kita masih tetap mengondisikan  issu putra daerah yang sebenarnya kita tahu bahwa issu ini adalah bentuk pendangkalan wacana berfikir dalam frame negara kesatuan. Karena Undang-Undang menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama, baik itu memilih dan dipilih, hak mencalonkan dan dicalonkan. Jadi kenapa kita harus mengkerdilkan kembali Undang-Undang dengan memakai issu putra daerah. Kebanyakan actor politik justru menggunakan issu ini sebagai senjata ampuh untuk memenangkan pilkada. Issu primodial tentunya menjadi sangat subur ketika dilemparkan dalam pemilih tradisional  yang masih memilih berdasarkan emosional dan loyalitas. Realitas ini merupakan bentuk kejanggalan dalam demokrasi (dari, oleh dan untuk rakyat). Jika demokrasi itu oleh rakyat maka seharusnya penentuan tipikal pemimpin berdasarkan pertimbangan pribadi rakyat bukannya dimainkan oleh segelintir elit. Rakyat bawah selalu dijadikan obyek issu, sementara remote control issu dimainkan oleh para elit pragmatis. Issu promodial sangat tidak menyehatkan proses demokrasi di level lokal ketika mengalihkan perhatian masyarakat pemilih dari penilaian sesungguhnya atas seorang calon, baik kualitas, integritas dan moral, kecerdasan, kebijakan, komitmen dan kinerja nyata, jiwa kepemimpinan serta ide-ide brilliant yang seharusnya lebih ditonjolkan untuk kemajuan daerahnya.

 Kearifan lokal atau Local Wisdom dalam pengertian kamus terdiri dari dua kata : Kearifan (Wisdom) dan Lokal (Local). Secara umum kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat sederhana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal, tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berprilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).

Issu-issu strategis Sang Putra Daerah sebagai kandidat Kepala-kepala daerah adalah penguatan kearifan lokal. Kearifan lokal yang hadir dalam bentuk tradisi, nilai atau norma, kaidah atau keyakinan-keyakinan yang masih dihayati dan dipelihara, bahkan dipatuhi oleh masyarakat lokal atau suatu masyarakat dalam upaya mewujudkan tertib social dan kesejahteraan. Tradisi itu sering kali terwujud secara lestari dan berkembang berdasarkan ikatan keyakinan komunitas lokal. Pelestarian tradisi ini penting dilakukan sebagai filter terdepan dalam menghadapi pengaruh arus globalisasi. Harus diakui bahwa selama ini masih berkembang pandangan sederhana mengenai pengelolaan pembangunan yang beredar luas pada khalayak umum. Proses pembangunan dimaknai secara sederhana sebagai perubahan kehidupan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Modernitas dilakukan dengan memperkenalkan lembaga dan nilai-nilai baru dengan menghancurkan tatanan nilai atau kelembagaan tradisional yang dipandang sebagai kendala terhadap jalannya proses modernisasi. Pembangunan yang tepat bukan berarti menghilangkan adat istiadat atau menghilangkan kekayaan budaya suatu daerah, tapi harus memajukan potensi dan kekayaan yang ada pada daerah tersebut. Sebab, jika pembangunan malah menghilangkan adat istiadat, maka bisa dipastikan bahwa daerah tersebut akan kehilangan jati dirinya.faktor lainnya adalah pragmatis dan keserakahan yang biasanya dimulai dari sebagian elit lokal. Kepentingan subyektif diri mengantarkan mereka untuk melupakan adat istiadat yang sudah ada sekaligus menghancur leburkan nilai-nilai luhur yang dikandungnya.

Kehidupan yang dipimpin oleh pemimpin yang mampu menciptakan suasana kondusif, menjunjung nilai-nilai kepatuhan dan loyalitas, mengedepankan kepentingan orang lain (masyarakat), serta nilai toleransi yang tinggi dan memberikan contoh yang baik kepada masyarakat yang dipimpinya dengan mengutamakan nilai-nilai moral dalam masyarakat akan menciptakan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang. Jika pemimpin bersikap sebaliknya, maka tatanan moral dalam masyarakatpun akan rusak. Tugas rumah Sang Putra Daerah sebagai kandidat kepala daerah adalah mempertahankan eksistensi kearifan lokal daerahnya yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya dibantu oleh putra-putra daerah yang betul-betul merasa putra daerah yang tidak mengejar popularitas, jabatan atau antek-antek kaum kapitalis yang berusaha merusak tatanan kearifan lokal demi kepentingan ekonomis segelintir orang. Sejatinya Sang Putra Daerah adalah, Berfikir Global, Bertindak Lokal.

Penulis : Yulfi Alfikri Noer S. IP., M.AP (Dosen STIT AD JAMBI)


Berita Terkait



add images